|
pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan” sebagai sasaran pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009. Target pemerintah dalam RPJM ini selain ingin menyelesaikan persoalan kuantitas---- meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan---, namun juga kualitas pendidikan di
Meski tercantum secara ideal dalam RPJM namun kenyataannya pemerintah masih belum memiliki kemauan politik kuat membuat pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Salah satu indikasinya adalah alokasi anggaran pemerintah bidang pendidikan yang sangat tidak mencukupi. Pemerintah SBY-Kalla dalam APBN 2005 mengalokasikan sejumlah Rp 25,710 triliun untuk anggaran bidang pendidikan. Jumlah ini hanyalah 9.7 persen saja dari total anggaran APBN. Dari jumlah tersebut Dirjend Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) mendapatkan jatah sebesar Rp 11,357 triliun.
Pemerintah beralasan bahwa kemampuan APBN negara tidak memungkinkannya untuk memenuhi kewajiban yang diembankan UUD ’45 harus mengalokasikan paling kurang 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang demikian rendah, pemerintah SBY-Kalla sulit untuk mengimplementasikan cita-cita pendidikan gratis dan bermutu sebagaiman sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang dan sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye. Menyikapi alokasi anggaran pendidikan ini masyarakat berreaksi keras. Salah satu kritiknya adalah bahwa alokasi anggaran pendidikan yang rendah, tidak sesuai dengan amanah konstitusi
Bahkan di tingkat internasional, anggaran yang rendah ini telah membuat Indonesia dimasukkan oleh Organisasi Guru Internasional ke dalam daftar salah satu negara dari tujuh negara—selain Mesir, Brasil, Argentina, India, Bangladesh, Pakistan---yang tidak memperdulikan bidang pendidikan (Smeru 2004 :18). Lembaga pendidikan PBB sendiri, UNESCO, telah memberi ketentuan agar setiap negara paling tidak mengalokasikan 25 persen dari anggaran negaranya untuk bidang pendidikan. Dengan kondisi anggaran yang demikian, dibandingkan dengan negara tetangga seperti
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR:
Ditengah keterbatasan dana dan keraguan masyarakat tersebut pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi persoalan-persoalan pendidikan yang telah diuraikan di atas. Sepanjang rentang 6 bulan pemerintahannya, SBY-Kalla telah mengambil sejumlah kebijakan berkaitan dengan pendidikan. Secara garis besar kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY-Kalla dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu 1) kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan 2) kebijakan untuk memperbesar akses masyarakat terhadap pendidikan. Kebijakan pemerintah ini satu persatu diuraikan di bawah ini.
Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Dalam RPJM, pemerintah menyadari bahwa kualitas pendidikan di
Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menggambarkan rendahnya tenaga pendidik ini. Survei menunjukkan bahwa belum semua tenaga pendidik SD/ MI berpendidikan D-2 ke atas (baru mencapai 61.4 persen). Demikian juga guru SMP/ Mts masih banyak yang berpendidikan di bawah D-3. Guru SMP/MTs yang mengenyam pendidikan D-3 ke atas barulah mencapai 75.1 persen. Dengan kualitas pendidikan formal guru yang belum memadai tentu saja tak mungkin diharapkan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Persoalan rendahnya kesejahteraan pendidik juga merupakan persoalan tersendiri. Alasan ini tak jarang menyebabkan pendidik terpaksa mencari tambahan pendapatan lain. Sehingga terjadi kasus sekolah atau pendidik menjadi agen penjualan buku-buku wajib untuk murid. Kejadian ini memungkinkan terjadinya buku wajib yang berganti setiap tahunnya, yang memberatkan beban orang tua murid. Ditengah upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, pemerintah menghadapi kendala yang serius yaitu keterbatasan dana. Dengan latar belakang demikian sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah SBY-Kalla sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Artikel 2 :
HMM Peduli Pendidikan Dasar Lewat Gerakan 1001 Buku
Gerakan 1001 buku yang merupakan rangkaian kegiatan “HMM Peduli” dilangsungkan hari ini, Sabtu, 26 Maret 2005, berlokasi di Cangkuang Rancaekek,
Acara yang berlangsung pukul 09.00 ini, diawali dengan Cerdas Cermat tingkat SD mempertandingkan SDN 1, SDN 2 dan SDN 3.
Gerakan 1001 buku menitik beratkan pada kebutuhan pendidikan dasar. Berbeda dengan HMM Peduli 2004 yang memfokuskan diri pada hal kesehatan dan pendidikan anak-anak jalanan. “Harapan kami, Himpunan Mahasiswa lainnya bisa mengadakan acara serupa, agar masalah pemerataan pendidikan menjadi tanggung jawab kita bersama. Tindak lanjut dari kegiatan ini, kami akan mengusahakan beasiswa untuk anak-anak SD dan SMP yang kurang mampu. Untuk masalah even selanjutnya, kami ingin mengadakan lomba-lomba olahraga untuk anak-anak SD dan SMP, kami ingin menanamkan jiwa sportivitas dan kreativitas yang merupakan fondasi dari sebuah pendidikan” tegas Zumali lagi.
Hal lain yang menarik diungkapkan Zumali ketika acara berlangsung. Pada saat Cerdas Cermat, sempat terjadi kesalahpahaman atas pertanyaan dewan juri. “Waktu itu ditanyakan kepada mereka, sebutkan 6 benua di dunia. Dan mereka hanya bisa menjawab 5 benua. Ternyata setelah di cek, para siswa tersebut masih menggunakan kurikulum 1998. Padahal dalam kurikulum 2004 yang digunakan sekarang, disebutkan ada 6 benua di dunia. Mungkin kurikulum baru 2004 belum tersosialisasikan kepada mereka”. cerita Zumali mengakhiri wawancara.
Artikel 3 :
Benahi Pendidikan Dasar!
Sebagus apapun program sertifikasi, jika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Sekolah Dasar (SD) tidak berorientasi kepada output, hasilnya tidak akan memuaskan. Sebaliknya, jika di SD sudah benar, maka dapat dipastikan di jenjang berikutnya pun niscaya akan lancar. Semua tujuan pendidikan yang pernah dicantumkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, mengisyaratkan kehendak adanya perubahan pada diri murid setelah menempuh pendidikan. Macam perubahan itu, meningkat seiring dengan jenjang pendidikan yang ada. Adapun perubahan yang diinginkan ada pada diri murid adalah dalam bentuk kecerdasan, ketakwaan, dan keterampilan.Untuk mencapai itu, tentu saja pendidiknya pun harus yang cerdas, takwa, dan juga terampil. Jika guru, apakah Ia menempatkan diri sebagai pendidik atau sebagai pengajar tidak cerdas, tidak takwa, dan tidak terampil, masih bisakah pendidikan disebut sebagai usaha sadar? Bisa jadi masih bisa disebut demikian. Tapi, kesadaran yang ada ialah “sadar bahwa tujuan cerdas, takwa, dan terampil itu tidak akan tercapai.” Bahkan bisa dikatakan “telah tidak tercapai.”
Maka dari itu, hasil pendidikan sebagai usaha sadar setiap pendidik hendaklah tercermin dalam diri murid. Dengan kata lain, hasil yang ingin dilihat ialah “murid yang cerdas-murid yang takwa-murid yang terampil.” Mari menengok ke belakang sebagai perbandingan. Jika 50 tahun yang lalu seorang murid kelas 2 tidak hafal perkalian, maka bisa dipastikan Ia tidak akan naik kelas. Namun sekarang, bisa disurvei bahwa banyak murid yang tidak hafal perkalian, telah bisa duduk nyaman bahkan di kelas 6. Jika 50 tahun yang lalu murid kelas 1 belum bisa membaca, maka bisa dipastikan tidak naik kelas. Namun sekarang, malah banyak anak kelas 6 yang kepandaian membacanya masih sangat menyedihkan.
Dari fakta diatas kita bisa mengevaluasi lebih jauh. Walaupun usaha perbaikan pendidikan terus dilakukan, namun hasilnya tidak menjadi lebih baik bahkan dibandingkan 50 tahun yang lalu. Karena, semakin ke sini usaha perbaikan pendidikan hanya melulu ditujukan kepada peningkatan mutu guru. Lewat penataran, diklat, seminar, kuliah, dll. Hasilnya apa? Silakan beri tugas kepada 48 anak di kelas gemuk tingkat
Ditengah situasi seperti itu, jika kita semua masih berkata bahwa dunia pendidikan kita sudah maju, alangkah dustanya kita. Kita seakan mengejar masa lalu orang lain. Sayang, saya tidak bisa bertemu dengan Menteri Pendidikan Nusantara kita ini. Padahal banyak hal yang ingin saya sampaikan. Paling tidak saya ingin berkata : Benahi dulu pendidikan dasar, jangan bikin guru stress dengan administrasi kelas. Periksa muridnya, jangan periksa administrasinya, atau sederhanakan administrasi kelasnya.
Artikel 4 :
Dukung Pendidikan Dasar Gratis
Fokus Pada Pendidikan Berkualitas
Pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan berkualitas harus menjadi komitmen pemerintah. Dukungan untuk penyelenggaraan wajib belajar SD-SMP gratis justru harus semakin kuat dengan adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
”Untuk persoalan pendanaan pendidikan dasar, UU BHP bisa dikatakan menghapus ketidakkonsistenan aturan lain. Di sini ditegaskan pemerintah harus menanggung biaya pendidikan dasar. Dukungan pemerintah untuk sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar juga harus ada,” kata Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Senin (5/1) di Jakarta, dalam acara konsultasi pakar pendidikan menguji UU BHP yang dilaksanakan Education Forum.
Tanggung jawab pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan dasar di sekolah swasta meliputi biaya operasional dan beasiswa. Selain itu, pemerintah berkewajiban memberikan bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sehingga menikmati layanan pendidikan sesuai dengan standar nasional.
DilevelSD-SMP
Di sisi lain, Abbas mengingatkan, pencapaian pendidikan dasar berkualitas masih dipertanyakan. Di pihak lain, pemerintah justru berorientasi pada pencapaian statistik semata. Fokus pada pendidikan dasar gratis dan berkualitas ini harus dilakukan karena secara umum pendidikan masyarakat
Anggaran yang ada lebih banyak dipakai untuk kebutuhan birokrasi, sedangkan pemerintah daerah masih mengandalkan kucuran dana dari pusat.
Sementara itu, persiapan untuk uji materiil UU BHP terus dilakukan Education Forum. Pakar pendidikan Soedijarto, Winarno Surachmad, dan Utomo Dananjaya meyakini penerapan BHP hanya akan menimbulkan masalah dan tidak memecahkan persoalan keterpurukan pendidikan di negara ini.
Artikel 5:
Kualitas Pelayanan Pendidikan Dasar Perlu Ditingkatkan
Lemahnya kompetensi aparatur penyelanggara pendidikan di DKI Jakarta ditengarai menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Jakarta. Artinya, pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan pendidikan dari tingkat dinas sampai tingkat sekolah menjadi titik tolak pendekatan manajemen sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan organisasi Sub Dinas Pendidikan SMP dan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta. Asumsi ini merujuk pada pendapat Gilly dan Maycunich (2000:98) yang mengungkapkan bahwa pengorganisasian terkait dengan pengaturan orang-orang ke dalam berbagai fungsi pekerjaan pada lingkungan tingkat tanggung jawab tertentu, kewenangan dan pengambilan keputusan, serta relasi timbal balik untuk mencapai tujuan strategi organisasi. Sedangkan pendapat Terry (1997:264) menyebutkan, organizing is the establishing of effective behavioral relationsships among persons so that may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the pupose of achieving some goal or objective.
Kaidah ini ternyata tidak menihilkan kenyataan yang terjadi pada penyelenggaraan pendidikan SMPN di DKI
Kemudian dalam penyelenggaraan SMPN di DKI
Karena itu, dalam disertasi gelar doktor yang ditulis Saefullah, Wakil Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan, pengorganisasian berpengaruh terhadap signifikan terhadap kualiatas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Provinsi DKI Jakarta. Besarnya pengaruh pengorganisasian terhadap kualitas pendidikan ditentukan oleh hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab penggajian dan pengendalian. Dari hasil kajianya, Saefullah menyimpulkan tiga dimensi penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di DKI Jakarat yaitu, motivasi kerja aparatur penyelenggara pendidikan di DKI Jakarta masih rendah, susunan pelaksanaan kebijakan dan kegiatan pelayanan pendidikan dan distribusi pekerjaan-pekerjaan kurang terkoordinasi dengan baik, dan terakhir naik turunnya kualitas pelayanan pendidikan dasar lebih banyak tercermin dari penyediaan prasarana pendidikan yaitu gedung sekolah, ruang kelas, dan ruang perpustakaan serta tercermin dari perhatian kepala sekolah terhadap usulan orangtua siswa, perhatian guru terhadap keluhan siswa dan perhatian staf sekolah terhadap lingkungan sekolah.
Untuk itu, secara akademis Saefullah menyarankan, masalah pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan pelaksana kegiatan pendidikan dan masalah kompetensi aparatur pada jabatan struktural dan jabatan fungsional dinas pendidikan perlu dijadikan kajian utama terhadap kualitas pelayanan pendidikan. Kemudian secara praktis, disarankan agar Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta mengembangkan suatu pola pengorganisasian satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan yang tidak terlalu hirarkis dan pola pengorganisasian tersebut hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan teknis pelaksanaan pekerjaan. Selain itu, disarankan dua persen dari total alokasi anggaran pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan kompetensi tenaga keguruan SMPN dengan mengikutsertakan para guru yang berprestasi dan guru yang bertugas di daerah pesisir untuk mengikuti jejang pendidikan formal setingkat lebih tinggi atau mengikuti diklat keguruan.