Pendidikan Dasar Artikel 1 : REFORMASI DUNIA PENDIDIKAN PENDAHULUAN Dalam bidang pendidikan dasar, pemerintah SBY menghadapi persoalan yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Persoalan itu berkutat seputar kewajiban untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi warga negaranya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang. Sementara di sisi lain persoalan pendidikan masih bertumpuk ditengah kemampuan ekonomi negara yang tak juga membaik. Kewajiban negara memberikan pendidikan berkualitas. Pembukaan UUD ’45 menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pasal-pasal dalam batang tubuh UUD ’45 juga memperjelas kewajiban negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Pasal 28B (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia. Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya. Pasal 31 menyatakan 1) setiap warga berhak mendapat pendidikan, 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Ketentuan UUD di atas menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas memang menjadi salah satu titik tekan kebijakan umum pemerintah Indonesia sedari awal. Pendiri negara pada saat itu menyadari betul pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Ini juga berarti amanah kepada setiap pemerintah yang berkuasa di Indonesia untuk memberikan pendidikan bagi warga negaranya. Pada tahun 2003, pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri menterjemahkan amanah ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas menyebutkan keinginan besar pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengamanatkan agar dana pendidikan---selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan----dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Dengan dana APBN sebesar itu pemerintah bercita-cita untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis. Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun, yaitu pendidikan SD dan SMP. Apabila dilihat dari umur maka mereka yang wajib bersekolah adalah 7-15 tahun. Saat ini populasi kelompok umur 7-15 tahun adalah sekitar 39 juta orang (Fazli Jalal, 2005). Dengan dasar hukum yang kuat seperti di atas maka mau tidak mau dalam setiap program pembangunan ----Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), Program Pembangunan Nasional (Propenas), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)----- kebijakan bidang pendidikan selalu muncul sebagai bahasan utama. Persoalan Pendidikan Dasar di Indonesia. Mekipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah enam dekade merdeka persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap pemerintahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjelaskan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Persoalan pertama, pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali (lihat tabel 1). Tabel 1: Penduduk diatas 15 tahun Menurut Pendidikan yang Ditamatkan | Pendidikan | Presentase | 1 | Tdk/ blm tamat SD | 22% | 2 | SD | 39% | 3 | SLTP | 17% | 4 | SLTA | 18% | 5 | Diploma | 2% | 6 | Universitas | 2% | | TOTAL | 100% | Diolah dari data Susenas, BPS 2003 Angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003). Persoalan kedua, angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah---masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen). Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat. Data Susenas 2003 menemukan bahwa APS penduduk berusia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93.98 persen, sementara untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67.23 persen. Kesenjangan lebih lebar dijumpai pada usia 16-18 tahun dimana kelompok 20 persen terkaya mencapai 75.62 persen dan 20 persen termiskin hanya mencapai 28.52 persen. Selain kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk kaya dan miskin terdapat juga kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Rata-rata APS untuk penduduk berusia 13-15 tahun di perkotaan telah mencapai 89.3 persen sementara untuk penduduk pedesaan hanya 75.6 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat pda kelompok usia 16-18 tahun, APS untuk penduduk perkotaan sebesar 66.7 persen sementara penduduk perkotaan hanya mencapai 38.9 persen. Data APS di atas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin lebar kesenjangan yang terjadi. Untuk anak usia 7-12 tahun, anak usia sekolah dasar, terdapat kesenjangan antara kelompok penduduk kaya-miskin dan kelompok penduduk pedesaan-perkotaan. Namun kesenjangan ini terlihat lebih lebar untuk anak usia SLTP (usia 13-15 tahun). Persoalan ketiga, angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah. Persoalan keempat, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh. Persoalan kelima, kualitas pendidikan yang rendah. Sebenarnya kualitas kepandaian siswa-siswa Indonesia tidaklah kalah dari negara-negara lain. Buktinya, berulang-ulang anak Indonesia menang di arena perlombaan ilmu pengetahuan di tingkat internasional seperti di Olimpiade Fisika, dan The First Step to Nobel Prize (lihat data di bawah). Tabel 2: Siswa Indonesia yang Memenangkan Medali Emas di The First Step to Nobel Prize Tahun | Nama | Sekolah | 1999 | I Made Agus Wirawan | SMUN 1 Bangli, Bali | 2004 | Septinus George Saa | SMUN 3 Jayapura, Papua | 2005 | Anike Nelce Bowaire | SMAN 1 Serui, Papua | 2005 | Dhina Pramita Susanti | SMAN 3 Semarang, Jateng | Di olah dari Kompas, 17 Juni 2005 Meski siswa-siswa Indonesia terbilang sering memenangkan perlombaan internasional, namun secara kualitas ternyata siswa Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini misalnya terlihat dari survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Lembaga ini melakukan survei secara internasional dan menggunakan metode statistik ketat. Hasilnya lembaga ini menempatkan posisi Indonesia pada posisi di bawah rata-rata (Suara Pembaharuan, Rabu 4 Mei 2005). Pada tahun 1999 dan 2003 hasil TIMSS tidak menunjukkan peningkatan mutu yang signifikan. Bila nilai rata-rata untuk Matematika adalah 467, Indonesia hanya mampu mencapai angka 411. Begitu juga untuk nilai di bidang sains, nilai Indonesia hanyalah 420 jauh dibawah nilai rata-rata yang 474. Mengapa timbul fenomena yang paradoksal seperti ini? Nampaknya persoalan bukan terletak pada kualitas manusianya namun lebih pada kualitas dan sistem pendidikan di Indonesia. Melihat sederet persoalan di bidang pendidikan ini, publik saat ini menunggu kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY-Kalla untuk segera menyelesaikannya. Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden lalu, SBY-Kalla pernah menjanjikan terselenggaranya pendidikan gratis apabila ia terpilih. KEBIJAKAN UMUM PEMERINTAHAN SBY Kebijakan umum pemerintahan SBY-Kalla ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJMmenyebutkan target ”meningkatnya akses masyarakat terhadap | | |
pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan” sebagai sasaran pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009. Target pemerintah dalam RPJM ini selain ingin menyelesaikan persoalan kuantitas---- meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan---, namun juga kualitas pendidikan di Indonesia. Target ini nampaknya memang ideal untuk mengatasi persoalan pendidikan yang selama ini dihadapi dan segaris dengan amanah undang-undang yang mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada warga negaranya.
Meski tercantum secara ideal dalam RPJM namun kenyataannya pemerintah masih belum memiliki kemauan politik kuat membuat pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Salah satu indikasinya adalah alokasi anggaran pemerintah bidang pendidikan yang sangat tidak mencukupi. Pemerintah SBY-Kalla dalam APBN 2005 mengalokasikan sejumlah Rp 25,710 triliun untuk anggaran bidang pendidikan. Jumlah ini hanyalah 9.7 persen saja dari total anggaran APBN. Dari jumlah tersebut Dirjend Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) mendapatkan jatah sebesar Rp 11,357 triliun.
Pemerintah beralasan bahwa kemampuan APBN negara tidak memungkinkannya untuk memenuhi kewajiban yang diembankan UUD ’45 harus mengalokasikan paling kurang 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang demikian rendah, pemerintah SBY-Kalla sulit untuk mengimplementasikan cita-cita pendidikan gratis dan bermutu sebagaiman sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang dan sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye. Menyikapi alokasi anggaran pendidikan ini masyarakat berreaksi keras. Salah satu kritiknya adalah bahwa alokasi anggaran pendidikan yang rendah, tidak sesuai dengan amanah konstitusi Indonesia. Sebabnya UUD ’45 pasal 31 jelas-jelas memerintahkan agar negara mengalokasikan paling tidak 20 persen anggaran APBN untuk kepentingan bidang pendidikan. Alasan ini membuat pengamat pendidikan terus meragukan komitmen pemerintah SBY-Kalla dalam pembangunan pendidikan.
Bahkan di tingkat internasional, anggaran yang rendah ini telah membuat Indonesia dimasukkan oleh Organisasi Guru Internasional ke dalam daftar salah satu negara dari tujuh negara—selain Mesir, Brasil, Argentina, India, Bangladesh, Pakistan---yang tidak memperdulikan bidang pendidikan (Smeru 2004 :18). Lembaga pendidikan PBB sendiri, UNESCO, telah memberi ketentuan agar setiap negara paling tidak mengalokasikan 25 persen dari anggaran negaranya untuk bidang pendidikan. Dengan kondisi anggaran yang demikian, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand saja anggaran pendidikan Indonesia masih kalah jauh. Anggaran pendidikan Indonesia rata-rata hanya sepertiga dari anggaran pendidikan negara-negara tersebut. Bahkan anggaran pendidikan Zimbabwe misalnya mencapai 8 kali lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan di Indonesia. Kondisi pendidikan Indonesia sangat parah sebab Indonesia ternyata merupakan Negara yang menyediakan anggaran pendidikan terkecil ke dua setelah Myanmar (Smeru 2004: 18).
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR:
Ditengah keterbatasan dana dan keraguan masyarakat tersebut pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi persoalan-persoalan pendidikan yang telah diuraikan di atas. Sepanjang rentang 6 bulan pemerintahannya, SBY-Kalla telah mengambil sejumlah kebijakan berkaitan dengan pendidikan. Secara garis besar kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY-Kalla dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu 1) kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan 2) kebijakan untuk memperbesar akses masyarakat terhadap pendidikan. Kebijakan pemerintah ini satu persatu diuraikan di bawah ini.
Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan
Dalam RPJM, pemerintah menyadari bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hasil survei TIMMS memperlihatkan bahwa nilai murid di Indonesia secara umum lebih rendah dari standar rata-rata. Menurut pemerintah kualitas pendidikan ini terutama disebabkan oleh 1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik kualitas maupun kuantitas, 2) kesejahteraan pendidik masih rendah, 3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, 4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.
Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menggambarkan rendahnya tenaga pendidik ini. Survei menunjukkan bahwa belum semua tenaga pendidik SD/ MI berpendidikan D-2 ke atas (baru mencapai 61.4 persen). Demikian juga guru SMP/ Mts masih banyak yang berpendidikan di bawah D-3. Guru SMP/MTs yang mengenyam pendidikan D-3 ke atas barulah mencapai 75.1 persen. Dengan kualitas pendidikan formal guru yang belum memadai tentu saja tak mungkin diharapkan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Persoalan rendahnya kesejahteraan pendidik juga merupakan persoalan tersendiri. Alasan ini tak jarang menyebabkan pendidik terpaksa mencari tambahan pendapatan lain. Sehingga terjadi kasus sekolah atau pendidik menjadi agen penjualan buku-buku wajib untuk murid. Kejadian ini memungkinkan terjadinya buku wajib yang berganti setiap tahunnya, yang memberatkan beban orang tua murid. Ditengah upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, pemerintah menghadapi kendala yang serius yaitu keterbatasan dana. Dengan latar belakang demikian sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah SBY-Kalla sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Artikel 2 :
HMM Peduli Pendidikan Dasar Lewat Gerakan 1001 Buku
Gerakan 1001 buku yang merupakan rangkaian kegiatan “HMM Peduli” dilangsungkan hari ini, Sabtu, 26 Maret 2005, berlokasi di Cangkuang Rancaekek, Bandung. Himpunan Mahasiswa Mesin (HMM) ITB menyumbangkan sejumlah buku kepada Sekolah Dasar Negeri 1, 2 dan 3 Cangkuang Rancaekek. Dana kegiatan berasal dari sumbangan para donatur yang digalang sejak tahun lalu, salah satunya dari PT Telkom. 990 buah buku yang terdiri dari buku pelajaran IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris diperoleh dengan harga murah dari Penerbit Tiga Serangkai.
Acara yang berlangsung pukul 09.00 ini, diawali dengan Cerdas Cermat tingkat SD mempertandingkan SDN 1, SDN 2 dan SDN 3. Para siswa dan guru yang mengikuti acara menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap acara ini. “ Kegiatan ini menandakan jika masyarakat HMM sangat peduli dengan masalah pendidikan. Karena pendidikan membentuk karakter SDM Indonesia. Bantuan yang kami tawarkan kali ini adalah memfasilitasi sarana belajar dan mengajar untuk siswa dan guru di sini.” papar Ahmad Zumali, HMM 2002 selaku ketua panitia yang diminta keterangan seusai kegiatan.
Gerakan 1001 buku menitik beratkan pada kebutuhan pendidikan dasar. Berbeda dengan HMM Peduli 2004 yang memfokuskan diri pada hal kesehatan dan pendidikan anak-anak jalanan. “Harapan kami, Himpunan Mahasiswa lainnya bisa mengadakan acara serupa, agar masalah pemerataan pendidikan menjadi tanggung jawab kita bersama. Tindak lanjut dari kegiatan ini, kami akan mengusahakan beasiswa untuk anak-anak SD dan SMP yang kurang mampu. Untuk masalah even selanjutnya, kami ingin mengadakan lomba-lomba olahraga untuk anak-anak SD dan SMP, kami ingin menanamkan jiwa sportivitas dan kreativitas yang merupakan fondasi dari sebuah pendidikan” tegas Zumali lagi.
Hal lain yang menarik diungkapkan Zumali ketika acara berlangsung. Pada saat Cerdas Cermat, sempat terjadi kesalahpahaman atas pertanyaan dewan juri. “Waktu itu ditanyakan kepada mereka, sebutkan 6 benua di dunia. Dan mereka hanya bisa menjawab 5 benua. Ternyata setelah di cek, para siswa tersebut masih menggunakan kurikulum 1998. Padahal dalam kurikulum 2004 yang digunakan sekarang, disebutkan ada 6 benua di dunia. Mungkin kurikulum baru 2004 belum tersosialisasikan kepada mereka”. cerita Zumali mengakhiri wawancara.
Artikel 3 :
Benahi Pendidikan Dasar!
Sebagus apapun program sertifikasi, jika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Sekolah Dasar (SD) tidak berorientasi kepada output, hasilnya tidak akan memuaskan. Sebaliknya, jika di SD sudah benar, maka dapat dipastikan di jenjang berikutnya pun niscaya akan lancar. Semua tujuan pendidikan yang pernah dicantumkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, mengisyaratkan kehendak adanya perubahan pada diri murid setelah menempuh pendidikan. Macam perubahan itu, meningkat seiring dengan jenjang pendidikan yang ada. Adapun perubahan yang diinginkan ada pada diri murid adalah dalam bentuk kecerdasan, ketakwaan, dan keterampilan.Untuk mencapai itu, tentu saja pendidiknya pun harus yang cerdas, takwa, dan juga terampil. Jika guru, apakah Ia menempatkan diri sebagai pendidik atau sebagai pengajar tidak cerdas, tidak takwa, dan tidak terampil, masih bisakah pendidikan disebut sebagai usaha sadar? Bisa jadi masih bisa disebut demikian. Tapi, kesadaran yang ada ialah “sadar bahwa tujuan cerdas, takwa, dan terampil itu tidak akan tercapai.” Bahkan bisa dikatakan “telah tidak tercapai.”
Maka dari itu, hasil pendidikan sebagai usaha sadar setiap pendidik hendaklah tercermin dalam diri murid. Dengan kata lain, hasil yang ingin dilihat ialah “murid yang cerdas-murid yang takwa-murid yang terampil.” Mari menengok ke belakang sebagai perbandingan. Jika 50 tahun yang lalu seorang murid kelas 2 tidak hafal perkalian, maka bisa dipastikan Ia tidak akan naik kelas. Namun sekarang, bisa disurvei bahwa banyak murid yang tidak hafal perkalian, telah bisa duduk nyaman bahkan di kelas 6. Jika 50 tahun yang lalu murid kelas 1 belum bisa membaca, maka bisa dipastikan tidak naik kelas. Namun sekarang, malah banyak anak kelas 6 yang kepandaian membacanya masih sangat menyedihkan.
Dari fakta diatas kita bisa mengevaluasi lebih jauh. Walaupun usaha perbaikan pendidikan terus dilakukan, namun hasilnya tidak menjadi lebih baik bahkan dibandingkan 50 tahun yang lalu. Karena, semakin ke sini usaha perbaikan pendidikan hanya melulu ditujukan kepada peningkatan mutu guru. Lewat penataran, diklat, seminar, kuliah, dll. Hasilnya apa? Silakan beri tugas kepada 48 anak di kelas gemuk tingkat SLTP kelas I. Tugasnya sederhana saja. Suruh membuat ruas garis yang panjangnya 10 cm. Kemudian ruas itu dibagi dua dengan memberi titik di tengahnya. Pada tugas itu, berikan dalam sebuah kalimat, “buatlah garis yang panjangnya 10 cm dan beri titik di tengahnya, sehingga garis itu terbagi dua.” Bagaimana hasilnya? Jangan kaget. Saya pernah lakukan itu di 11 kelas. Tidak ada kelas yang hasil benarnya lebih dari 5 orang. Ini baru bikin garis. Belum yang lainnya. Mengerikan. Kemampuan bicara? Rasa percaya diri? - Bahkan Anda pasti tidak percaya, jika sekarang ada murid kelas 1 SLTP yang menjawab bahwa “kaki kambing itu delapan.” Jauh, jauh sekali jika dibandingkan dengan prestasi anak-anak dulu.
Ditengah situasi seperti itu, jika kita semua masih berkata bahwa dunia pendidikan kita sudah maju, alangkah dustanya kita. Kita seakan mengejar masa lalu orang lain. Sayang, saya tidak bisa bertemu dengan Menteri Pendidikan Nusantara kita ini. Padahal banyak hal yang ingin saya sampaikan. Paling tidak saya ingin berkata : Benahi dulu pendidikan dasar, jangan bikin guru stress dengan administrasi kelas. Periksa muridnya, jangan periksa administrasinya, atau sederhanakan administrasi kelasnya.
Artikel 4 :
Dukung Pendidikan Dasar Gratis
Fokus Pada Pendidikan Berkualitas
Pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan berkualitas harus menjadi komitmen pemerintah. Dukungan untuk penyelenggaraan wajib belajar SD-SMP gratis justru harus semakin kuat dengan adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
”Untuk persoalan pendanaan pendidikan dasar, UU BHP bisa dikatakan menghapus ketidakkonsistenan aturan lain. Di sini ditegaskan pemerintah harus menanggung biaya pendidikan dasar. Dukungan pemerintah untuk sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar juga harus ada,” kata Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Senin (5/1) di Jakarta, dalam acara konsultasi pakar pendidikan menguji UU BHP yang dilaksanakan Education Forum.
Tanggung jawab pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan dasar di sekolah swasta meliputi biaya operasional dan beasiswa. Selain itu, pemerintah berkewajiban memberikan bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sehingga menikmati layanan pendidikan sesuai dengan standar nasional.
DilevelSD-SMP
Di sisi lain, Abbas mengingatkan, pencapaian pendidikan dasar berkualitas masih dipertanyakan. Di pihak lain, pemerintah justru berorientasi pada pencapaian statistik semata. Fokus pada pendidikan dasar gratis dan berkualitas ini harus dilakukan karena secara umum pendidikan masyarakat Indonesia masih di levelSDatau di tahun pertama SMP. Chitra Hariyadi dari Pusat Telaah dan Informasi Regional mengatakan, pencapaian pendidikan dasar secara kuantitatif dan kualitatif pada kenyataannya masih rendah.
Anggaran yang ada lebih banyak dipakai untuk kebutuhan birokrasi, sedangkan pemerintah daerah masih mengandalkan kucuran dana dari pusat.
Sementara itu, persiapan untuk uji materiil UU BHP terus dilakukan Education Forum. Pakar pendidikan Soedijarto, Winarno Surachmad, dan Utomo Dananjaya meyakini penerapan BHP hanya akan menimbulkan masalah dan tidak memecahkan persoalan keterpurukan pendidikan di negara ini.
Artikel 5:
Kualitas Pelayanan Pendidikan Dasar Perlu Ditingkatkan
Lemahnya kompetensi aparatur penyelanggara pendidikan di DKI Jakarta ditengarai menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Jakarta. Artinya, pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan pendidikan dari tingkat dinas sampai tingkat sekolah menjadi titik tolak pendekatan manajemen sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan organisasi Sub Dinas Pendidikan SMP dan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta. Asumsi ini merujuk pada pendapat Gilly dan Maycunich (2000:98) yang mengungkapkan bahwa pengorganisasian terkait dengan pengaturan orang-orang ke dalam berbagai fungsi pekerjaan pada lingkungan tingkat tanggung jawab tertentu, kewenangan dan pengambilan keputusan, serta relasi timbal balik untuk mencapai tujuan strategi organisasi. Sedangkan pendapat Terry (1997:264) menyebutkan, organizing is the establishing of effective behavioral relationsships among persons so that may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the pupose of achieving some goal or objective.
Kaidah ini ternyata tidak menihilkan kenyataan yang terjadi pada penyelenggaraan pendidikan SMPN di DKI Jakarta. Jika ditilik dari indikator keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jelas terlihat suatu gambaran faktual bahwa kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Jakarta masih belum optimal. Misalnya, pencapaian SPM atas indikator tenaga kependidikan non guru hanya 68,81 persen. Padahal, target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 80 persen. Pencapaian SPM atas indikator guru berkualitas dan berkompetensi hanya mencapai 50,72 persen. Sedangkan target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 90 persen. Pencapaian SPM atas indikator jumlah siswa per kelas mencapai rata-rata 44 siswa per kelas. Target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini adalah antara 30–40 siswa per kelas.
Kemudian dalam penyelenggaraan SMPN di DKI Jakarta masih terdapat jumlah guru bidang studi atau mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Misalnya, bidang studi seni budaya kekurangan guru sebanyak 74 orang, bidang studi keterampilan kekurangan guru sebanyak 70 orang dan BP kekurangan guru sebanyak 883 orang. Belum optimalnya kualitas pelayanan pendidikan pada SMPN juga terungkap dari data permasalahan sekolah tahun 2007, yang antara lain menunjukkan belum meratanya distribusi guru di setiap sekolah. Kemudian belum meratanya pembagian tugas jam mengajar di setiap sekolah. Selain itu, juga masih banyak guru yang belum mempunyai kualifikasi S1 sesuai tuntutan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap guru minimal berijazah S1. Disamping itu, juga masih terdapat ketidaksesuaian antara kompetensi pendidikan yang dipunyai guru dengan bidang studi yang diajarkan.
Karena itu, dalam disertasi gelar doktor yang ditulis Saefullah, Wakil Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan, pengorganisasian berpengaruh terhadap signifikan terhadap kualiatas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Provinsi DKI Jakarta. Besarnya pengaruh pengorganisasian terhadap kualitas pendidikan ditentukan oleh hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab penggajian dan pengendalian. Dari hasil kajianya, Saefullah menyimpulkan tiga dimensi penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di DKI Jakarat yaitu, motivasi kerja aparatur penyelenggara pendidikan di DKI Jakarta masih rendah, susunan pelaksanaan kebijakan dan kegiatan pelayanan pendidikan dan distribusi pekerjaan-pekerjaan kurang terkoordinasi dengan baik, dan terakhir naik turunnya kualitas pelayanan pendidikan dasar lebih banyak tercermin dari penyediaan prasarana pendidikan yaitu gedung sekolah, ruang kelas, dan ruang perpustakaan serta tercermin dari perhatian kepala sekolah terhadap usulan orangtua siswa, perhatian guru terhadap keluhan siswa dan perhatian staf sekolah terhadap lingkungan sekolah.
Untuk itu, secara akademis Saefullah menyarankan, masalah pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan pelaksana kegiatan pendidikan dan masalah kompetensi aparatur pada jabatan struktural dan jabatan fungsional dinas pendidikan perlu dijadikan kajian utama terhadap kualitas pelayanan pendidikan. Kemudian secara praktis, disarankan agar Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta mengembangkan suatu pola pengorganisasian satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan yang tidak terlalu hirarkis dan pola pengorganisasian tersebut hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan teknis pelaksanaan pekerjaan. Selain itu, disarankan dua persen dari total alokasi anggaran pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan kompetensi tenaga keguruan SMPN dengan mengikutsertakan para guru yang berprestasi dan guru yang bertugas di daerah pesisir untuk mengikuti jejang pendidikan formal setingkat lebih tinggi atau mengikuti diklat keguruan.