PENDIDIKAN KHUSUS
Artikel 1 :
Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus
Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto."Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu. Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.
"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya. Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.
Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.
Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu. Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan."Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.
Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.
Artikel 2 :
Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak
Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola. Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.
Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.
Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat berwarna cerah dan menarik perhatian.Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.
Artikel 3 :
TINGKATKAN SDM, TNI AL BUKA EMPAT PENDIDIKAN KHUSUS
Untuk meningkatkan kualitas dan keahlian sumber daya manusianya, TNI AL melalui Komando Pengembangan dan Pendidikan Angkatan Laut (Kobangdikal) membuka empat pendidikan kualifikasi khusus (Dikbrivet), Dikpaska, Diktaifib, Dikjursel dan Dikcawakasel yang dibuka secara resmi oleh Wakil Komandan Kobangdikal Brigjen TNI Marinir Halim A. Hermanto, di Lapangan Kihadjar Dewantara, Kobangdikal, Selasa (20/11).
Menurut Komandan Kobangdikal Laksda TNI Edhi Nuswantoro dalam amanatnya yang dibacakan Wadan Kobangdikal mengatakan, selain pengembangan organisasi, penambahan dan pemutakhiran teknologi alutsistanya, kemampuan prajurit yang handal juga menjadi prioritas utama, seperti halnya empat program pendidikan berkualifikasi khusus ini.
Dikaitkan dengan kondisi dan konstelasi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan lautnya yang terbuka, setengah terbuka dan tertutup, maka kehadiran naval power akan memberikan tiga keunggulan sekaligus, yaitu keunggulan sebagai unsur defensif yang mematikan, unsur ofensif yang efektif dan detterence factor yang baik, sehingga musuh akan takut dan mengurungkan niat jahatnya.
Menurutnya, strategi pertahanan negara kita harus mengedepankan strategi pertahananmaritim dengan memperhatikan kondisi geografis sebagai
negara kepulauan. Oleh karena itu,TNI AL harus mampu mewujudkan laut yang aman dan terkendali, yaitu kondisi laut yang bebas dari beberapa ancama, tegas Komandan Kobangdikal.“sudah sepantasnya Indonesia mempunyai kekuatan Angkatan Laut setara Green Water Navy yaitu kekuatan yang dapat diandalkan untuk menegakkan stabilitas keamanan dan berkemampuan mengadakan perlawanan terhadap setiap ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan,” tegasnya.
Megenai pembukaan empat pendidikan brivet yang berada di bawah tanggungjawabnya, pendidikan Pasukan Katak yang kali ini diikuti 24 orang ini akan dilaksanakan selama 10 bulan dengan tujuan agar para siswa mampu melaksanakan tugas-tugas dalam operasi amfibi maupun tugas-tugas dalam peperangan khusus laut
Sementara itu 24 orang turut dalam pendidikan Calon Awak Kapal Selam yang akan digelar 9 bulan. Pendidikan Dikcawakasel bertujuan agar para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan teknis kapal selam type 209 serta kecakapan khusus yang dapat ditugaskan sebagai pasukan bawah air.
Untuk Pendidikan Juru Selam yang diikuti 13 orang ini akan dilaksanakan selama 6 bulan dengan tujuan untuk mendidik para siswa menjadi juru selam TNI AL yang profesional guna mendukung kesiapan dan keselamatan bawah air khususnya KRI dalam suatu operasi di laut.
Pendidikan Intai Amfibi yang memiliki sisiwa terbayak dengan 61 siswa akan dilaksanakan selama 10 bulan. Diktaifib bertujuan agar para siswa menjadi prajurit taifib yang dapat melaksanakan tugas pengintaian dan penyelidikan dalam operasi amfibi dan operasi-operasi lain melalui darat, laut dan udara.
Artikel 4:
Perlu Pendidikan Khusus Orangtua Usia Muda, Calon Orangtua, Pembantu
Ada pembantu, ada jasa penitipan anak. Sudahkah semua pembantu, dan petugas penitipan punya kemampuan mendidik anak usia dini? Maka, perlu ada pelatihan khusus, buat orangtua usia muda, calon orangtua, pembantu, dan petugas penitipan anak. Sudahkah pemerintah mengambil langkah ini?
Demikian pandangan yang berkembang dalam siaran interaktif Koran Tokoh dan Radio Global FM 96.5, Minggu (6/8) dengan Topik ’’Beragam Kendala Pendidikan Anak Usia Dini’’. Berikut petikannya.
Usia dini = TK ?
Menurut Diknas, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak baru lahir sampai usia 6 tahun. Ada juga yang mengelompokkan PAUD sampai umur 8 tahun. PAUD salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan yang meliputi daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual dan kemampuan berbahasa termasuk dalam kehidupan sosial. Masyarakat hanya tahu pendidikan usia dini itu identik TK. Padahal masa di TK hanya sekitar 1 sampai 2 tahun, sedangkan selebihnya yang empat tahun sebelumnya berada di keluarga dan di tengah masyarakat.
I G.K. Tribana
Karena Gengsi Anak Stres
Tahun 70-an betul-betul anak-anak yang sekolah. Setelah kurun waktu itu, terbalik, yang sekolah orangtuanya. Ada orangtua yang mengharapkan anaknya sekolah di suatu tempat. Di mana pun anak itu sekolah jika memang sumbernya bagus, akan menjadi bagus. Jika orangtua memaksakan kehendak untuk dan atas nama gengsi, anak bisa stres. Sesungguhnya yang mengangkat nama sekolah jadi favorit bukan sekolahnya, tetapi kemampuan anak-anak tersebut. Tiap tahunnya rata-rata nilai berbeda, maka sebutan ‘favorit’ tidak tiap tahun disandang satu sekolah. Sekolah hanya memfasilitasi, melayani kehendak orangtua, maka biaya pendidikan melangit.
Sinda, Siulan
Tidak Menitipkan di Penitipan Anak
Untuk PAUD saya cenderung dititikberatkan pada peranan orangtua. Saya mengalami ketika merantau bekerja, saya sebagai karyawati perusahaan dan juga tetap sebagai ibu rumah tangga. Saya jemput anak dan saya ajak ke kantor, saya beri buku-buku, dan saya kembali bekerja. Tidak ada pembantu. Saya kurang setuju menitipkan di penitipan anak. Ketika anak-anak balita, saya bekerja, saya titipkan di keluarga Bali yang tidak ada hubungan keluarga tetapi saya percaya. Pulang bekerja saya ambil lagi. PAUD itu terutama dari ibu. Ketika sudah belajar mendengar, bercerita, saya luangkan waktu membacakan majalah seperti Kuncung, untuk mereka dengarkan. Mendongeng atau membacakan cerita masih dilakukan orangtua sekarang meski tidak sebanyak dulu.
Natri Udiani, Denpasar
Pemahaman Orangtua Kurang
Usia 0-6 tahun usia awal bagi anak untuk mulai mengenal lingkungan dan mulai beradaptasi menguatkan pijakan menapaki kehidupan selanjutnya. Pada masa sensitif ini anak membutuhkan figur pendamping yang menuntun, mengarahkan dan membesarkannya. Anak dilahirkan telah dibekali modal awal, yakni waktu, ruang, dan hidup. Perlu dipahami dan dikelola dengan benar sehingga nantinya anak bisa memanfaatkan waktu, memahami keadaan kemudian meningkatkan kualitas hidupnya. Rata-rata pemahaman orangtua masih kurang. Terkesan orangtua hanya melahirkan tanpa peduli perkembangan jiwanya. Di balik jasmaninya seseorang punya kekuatan lebih dahsyat, yaitu rohani. Kekuatan ini yang perlu diselaraskan untuk menggali potensi diri menjawab tantangan ke depan, sejak usia dini.
Pande, Pandakgede
Ingin Anaknya Cepat Pintar
Memang ada pergeseran. Anak-anak TK dan SD kelas 1, banyak pengaruh kemauan orangtuanya yang berlebihan. Ada yang meminta anak TK diajari matematika, membaca, dan menulis. Padahal dunia mereka, dunia bermain. Pelajaran demikian, berikan setelah kelas 1 SD. Mengapa anak TK diberi pelajaran membaca dan matematika, kata guru TK, atas desakan orangtua. Mereka ingin anaknya cepat pintar. Usia dini yang paling bagus mengasuh adalah orangtuanya. Namun tidak mungkin semua kantor bisa memahami atau mengerti jika si ibu mengajak anaknya ke kantor. Jika pekerjaannya berat dan membutuhkan kosentrasi, mengajak anak ke kantor kurang tepat.
Tribana
Di SD pun Berlebihan
Terkadang di SD pun anak dipacu berlebihan dengan alasan kualitas. Di sekolah ada dua unsur, orangtua yang diwakili komite dan guru. Orangtua biasanya melihat prestise. Ketika anaknya dikatakan pintar sudah bangga, bisa main komputer juga bangga begitu juga ketika diantar berangkat-pulang naik mobil. Peluang ini dimanfaatkan sekolah, maka dunia pendidikan menjadi media pasar. Anak SD harus bisa komputer, bisa bahasa Inggris, memang bagus, namun secara psikologis menjadi beban. Saya khawatir di sekolah diajari komputer lantas nuntut dibelikan komputer, jika tidak dibelikan bunuh diri.
Binawan
Satu Kelas sampai 40 Siswa
Siapa pun, orangtua menginginkan anaknya sekolah dan pintar. Realitanya, belum apa-apa semua buku disodorkan, harus bayar tunai. Padahal satu pun belum dibaca. Bukannya takut membayar namun kesannya seolah-olah uang dan uang saja. Satu kelas siswanya sampai 40-an bagaimana guru bisa mengajar, belum semua dapat giliran, habis waktunya. Ada anak stres tidak mau sekolah karena minder. Jalan terakhir les tiap hari. Orangtua harus keluar dana lagi. Sejauh mana tanggung jawab guru terkait daya serap anak?
Jujur
Memaksakan Daya Nalar Anak
Sejauh mana optimalisasi pelaksanaan sistem pendidikan terutama swasta, yang sekarang menawarkan berbagai kelebihan dengan biaya tinggi dan tampak elite? Bagaimana perkembangan siswa nantinya?. Secara psikologis apakah tidak berpengaruh, karena terlalu memaksakan daya nalar anak yang seharusnya belum sampai ke sana?
Mertayasa
Tanggung jawab Orangtua
Ada fenomena pendidikan jadi media pasar, tetapi tidak sepenuhnya benar. Sesungguhnya sistem tidak ada yang salah. Yang salah pelaksanaannya. Ada beberapa kekekeliruan dalam melaksanakan sistem tersebut. Hal ini semata-mata disebabkan keterbatasan kemampuan untuk melaksanakannya. Masyarakat terkadang menuntut terlalu banyak, bahkan sampai di luar faktor kejiwaan anak, khususnya untuk usia dini. Belum waktunya bisa membaca dipaksakan gurunya karena desakan orangtua. Dalam selebaran pada awal tahun ajaran selalu ditonjolkan anak-anak di sana sudah diajari komputer, bahasa Inggris dan bisa berhitung atau matematika. Ini siasat supaya menarik minat orangtua menyekolahkan anaknya di sana. Guru memaksa muridnya membeli buku di sekolah, jelas melanggar aturan, tetapi kalau murid membeli buku bersama-sama itu terserah mereka. Les juga banyak atas permintaan orangtua. Di satu pihak tuntutan orangtua, di pihak lain memang tuntutan ujian nasional. Jumlah murid di kelas, terutama di sekolah negeri, tidak bisa sesuai harapan kurikulum. Kurikulum menghendaki satu kelas idealnya 30 anak nyatanya banyak yang mendekati 50. Jelas tidak bagus karena tidak semua siswa dapat berlatih dengan baik. Pendidikan anak usia dini adalah tanggung jawab utama keluarga. Anggota keluarga termasuk orangtua mestinya menjadikan membaca menjadi kebiasaan, dengan kegiatan mendongeng atau membaca cerita.
Tribana
Perhatikan Penyusunan Buku
Satu SD dengan SD lainnya bukunya bisa berbeda. Ketika masa saya kecil, buku saya sampai enam kali bisa digunakan dari saya hingga ke adik-adik kelas. Ada kurikulum bahasa Inggris, kebetulan anak saya mendapatkannya. Soal yang diberikan di dalam buku tidak ada topik, saya juga bingung. Anak-anak menjadi bingung. Penyusunan buku perlu lebih diperhatikan.
Wayan Belog
Penddikan Khusus Penitipan Anak
Yang menjejali bukan kurikulum tetapi gurunya. Ada kekeliruan, di SD di Bali, penafsirannya bahasa Inggris muatan lokal. Jadi muatan lokal supaya anak senang di sekolah. Faktanya justru bahasa Inggris membuat anak tidak betah di sekolah. Guru bahasa Inggris di SD memang bukan guru yang mendalami bahasa Inggris atau berlatar belakang bahasa Inggris. Banyak orang yang buru-buru mempunyai anak namun sebenarnya belum siap mendidik anaknya. Jika mereka bekerja bagaimana dengan anaknya.Ada jasa penitipan. Jika petugas di jasa penitipan itu terdidik untuk menangani anak usia dini, saya pikir tidak apa-apa. Inilah yang perlu diberikan pendidikan khusus oleh pemerintah, lembaga atau perorangan yang membuka jasa penitipan. Anak di penitipan bukan sekadar diberi makan, atau petugas hanya mengganti pakaian/popoknya melainkan memberikan pendidikan.
Artikel 5 :
Tangani Anak di Daerah Sulit
Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB) mengubah paradigma layanan pendidikannya tidak saja mengurusi anak cacat yang selama ini disebut sebagai siswa luar biasa, tetapi juga siswa yang memiliki prestasi luar biasa seperti siswa pemenang lomba otak tingkat internasional siswa berbakat lainnya dalam bidang non-eksakta."Selama ini, PLB dikonotasikan sebagai direktorat yang menangani anak cacat. Padahal, mereka yang luar biasa itu termasuk anak-anak cerdas yang tergabung dalam kelas akselerasi. Mereka semua akan ditangani oleh layanan pendidikan yang disebut Sentra Layanan Pendidikan Khusus," kata Direktur PLB, Eko Djatmiko dalam penjelasannya kepada wartawan, di Jakarta, belum lama ini.Perubahan paradigma ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak menyebutkan satu pun mengenai sekolah luar biasa. Dalam UU Sisdiknas itu hanya ada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Menurut dia, pendidikan khusus - pendidikan bagi siswa yang yang tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau punya potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Saat ini sedikitnya ada sekitar 66.000 siswa SD-SLTA di Indonesia yang belum terlayani oleh PLB. Dari jumlah tersebut, 54.000 di antaranya siswa dari kelompok wajib belajar - SD-SLTP. Untuk mengatasi hal ini pemerintah terus meningkatkan pelayanan, termasuk pendidikan inklusif.Eko Djatmiko menyebut anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus, selain anak cacat yang selama ini telah ditangani PLB adalah mereka memiliki kecerdasan diatas rata-rata (IQ diatas 125), memiliki potensi bakat istimewa antara lain bidang musik, tari, bahasa, interpersonal hingga spiritual. Selain itu, mereka yang mengalami kesulitan belajar seperti dyslexia (baca), dysphasia (bicara), anak hiperaktif dan anak autis.
Menurut Eko, Sentra Layanan Pendidikan Khusus itu akan diujicobakan di 12 daerah di Indonesia. Ke-12 sentra pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tersebut berlokasi di Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Sumedang, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Mataram, Banjarmasin dan Makassar.
Jumlah ini terdapat pada peserta didik Sekolah Luar Biasa sebanyak 81.434 siswa yang terdiri dari 3.218 siswa tunanetra, 19.199 siswa tunarungu, 27.998 siswa tunagrahita ringan, 10.547 siswa tunagrahita. Sedang 1.920 siswa tunadaksa ringan, 553 siswa tunadaksa, 788 siswa tunalaras, 450 siswa tunaganda, 1.752 siswa Autis dan berkebutuhan khusus 10.338 siswa serta program percepatan belajar 4.671 siswa.
Pelaksanaan Pendidikan Layanan Khusus diperuntukan bagi Sekolah yangkesulitan geografisnya itu seperti di wilayah Bengkulu dan Sulsel dan Sekolah untuk kesulitan etnis minoritas seperti Badui dan Kubu. Kemudian, sekolah untuk daerah bencana alam, sekolah untuk kesulitan hambatan sosial seperti anak jalanan, pekerja anak, dan pengungsi, serta Sekolah untuk kesulitan hambatan ekonomi seperti anak miskin.Dijelaskan, pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini akan memanfaatkan sekolah luar biasa (SLB) pembina yang biasanya ada di masing-masing kabupaten/kota. Sekolah tersebut akan ditambah aneka fasilitas yang menampung semua anak-anak yang memerlukan pendidikan khusus. Ia mencontohkan, fasilitas komputer yang ada di Sentra bukan hanya digunakan untuk kegiatan tulis menulis bagi lewat komputer, tetapi harus bisa memberi nilai lebih bagi anak sehingga lulusannya bisa menjadi seorang web designer dan membuat program komputer. Satu kendala yang akan dihadapi pada pendirian Sentra Layanan Pendidikan Khusus ini adalah penyiapan tenaga pendidiknya. "Karena ini sekolah khusus, gurunya juga tidak bisa lagi yang standar seperti yang ada saat ini. Karena itu, selama masa persiapan kami akan memberi keterampilan tambahan kepada guru-guru yang akan terlibat dan Sentra Pendidikan Khusus," ucap Eko Djatmiko.
Keberadaan Sentra Pendidikan Khusus disambut Ketua Tim Pengerak PKK dan juga istri Menteri Dalam Negeri, RR Susyati Ma'ruf. Ia meminta kepada para istri Gubernur, Walikota dan Bupati di Indonesia untuk lebih memperhatikan hak azasi anak-anak untuk mendapat layanan pendidikan secara baik.Pasalnya, sekarang ini angka putus sekolah terancam semakin meningkat menyusul sejumlah peristiwa bencana yang terjadi. "Anak jalanan, anak-anak korban gempa dan anak-anak yang kehilangan masa depannya karena konflik berkepanjangan di negeri ini tidak boleh sampai kehilangan haknya untuk tetap belajar dan memperoleh layanan pendidikan. Mereka menurut Undang Undang Sisdiknas dan UUD menjadi tanggungjawab negara dan kita bersama. Mereka sebaiknya ditangani secara khusus. Karena itu mereka menjadi tanggung jawab pendidikan khusus dan layanan khusus," katanya.