Selasa, 26 Mei 2009

RINGKASAN BUKU PROFESI PENDIDIKAN

RINGKASAN BUKU PROFESI PENDIDIKAN
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU
SEKOLAH DASAR

Diajukan untuk memenuhi uas
Pada Bidang Profesi pendidikan











Disusun Oleh :
ADINDA CHANIAGO
8135077981



Fakultas Ekonomi
Program Studi Pend. Tata Niaga NR’07
Jurusan Ekonomi&Administrasi
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
MERINGKAS BUKU PENDIDIKAN UNTUK MEMENUHI UAS MATA KULIAH/PELAJARAN PROFESI PENDIDIKAN

JUDUL BUKU : MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU
SEKOLAH DASAR
DARI SENTRALSASI MENUJU DESENTRALISASI
PENERBIT : Dr. IBRAHIM BAFADAL, M.Pd.
TAHUN TERBIT : CETAKAN PERTAMA, DESEMBER 2003
CETAKAN KEDUA, SEPTEMBER 2006



















BAB I
SEPUTAR SEKOLAH DASAR
DI INDONESIA

1.1 APA YANG DIMAKSUD DENGAN SEKOLAH DASAR?

Sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun. Sekolah dasar merupakan bagian dari pendidikan dasar. Di dalam peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar disebutkan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program pendidikan enam tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Dengan demikian, sekolah dasar merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar.

1.2 BERBAGAI JENIS SEKOLAH DASAR

Ada beberapa jenis sekolah dasar (SD) di Indonesia, yaitu SD konvensional, SD percobaan, SD inti, SD kecil, SD satu guru, SD pamong, dan SD terpadu.
Pengertian setiap jenis sekolah dasar tersebut diuraikan berikut ini:
1. SD Konvensional
SD Konvensional adalah sekolah dasar biasa, yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun, terdiri atas enam kelas dengan enam orang guru kelas, satu guru mata pelajaran Pendidikan Agama, satu orang guru mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, satu orang kepala sekolah dan satu orang pesuruh.

2. SD Percobaan
SD Percobaan adalah sekolah dasar konvemsional yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun. Hanya saja, SD percobaan ini diberi kewenangan untuk melakukan percobaan-percobaan tertentu dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar.

3. SD Inti
SD inti adalah sekolah dasar konvensional yang menyelenggarakan pendidikan enam tahun, terdiri atas enam kelas dengan enam orang guru kelas, satu guru mata pelajaran Pendidikan Agama, satu orang guru mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, satu orang kepala sekolah dan satu orang pesuruh. SD inti ini dilengkapi dengan satu ruang kelompok kerja guru (KKG), satu ruang perpustakaan sekolah, dan satu ruang serbaguna.

4. SD Kecil
SD Kecil adalah sekolah dasar yang pada umumnya terdapat di daerah terpencil denga sistem pendidikan yang berbeda dengan SD konvensional. Proses belajar mengajar disenggalarakan dengan menggunakan modul, penggabungan kelas dan tutor sebaya.

5. SD Satu Guru
SD Satu Guru adalah sekolah dasar yang pada umumnya terdapat di daerah terpencil denga sistem pendidikan yang berbeda dengan SD konvensional. Proses belajar mengajar disenggalarakan dengan menggunakan modul, penggabungan kelas dan tutor sebaya.

6. SD Pamong
SD Pamong adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyrakat, orang tua, dan guru untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak putus sekolah dasar atau anak lain yang karena satu dan lain hal. Tidak dapat datang secara teratur belajar di sekolah

7. SD Terpadu
SD Terpadu adalah sekolah dasar yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak normal dan penyandang cacat dan normal secara bersama-sama dengan menggunakan kurikulum sekolah dasar konvensional.
1.3 LANDASAN YURIDRIS SEKOLAH DASAR

Di Indonesia penyelenggaraan sekolah dasar berpijak pada beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan yuridris. Ada tiga peraturan perundang-undangan yang dijadikan landasan yuridris penyelenggaraan sekolah dasar, baik sebagai satuan pendidikan maupun dalam kerangka sistem pendidikan nasional, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Undang-Undang republic Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional (UUSPN), dan peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 28 tahun1990 tentang pendidikan dasar (PP Nomor 28 tahun 1990).
 Di dalam pembukaan UUD 1945 diisyratkan bahwa upaya mencerdaska bangsa ( tentu melalui pandidikan ) merupakan amanat bangsa.
 Di dalam UUSPN ditegaskan bahwa setiap warga Negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kamapuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan tamatan pendidikan dasar (bab III pasal6).
 Di dalam PP Nomor 28 tahun 1990 ditegaskan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun, terdiri atas program enam tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan tingkat pertam (SLTP).

1.4 TUJUAN INSTITUSIONAL SEKOLAH DASAR

Di dalam buku I kurikulum pendidikan dasar tahun 1994 dijelaskan bahwa pendidikan dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar pada siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga Negara dan anggota umat manusia serta mempersipkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Tujuan institusional sekolah dasar adalah bekal kemampuan dasar kepada siwa untuk menggembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, wraga Negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan siswa untuk pendidikan menengah

1.5 APA SAJA KOMPONEN DI SEKOLAH DASAR?

Apa saja komponen di sekolah dasar? Banyak tidaknya komponen yang dimiliki sekolah-sekolah sangat bervariasi dan sudah barang tentu berbeda antara sekolah dasar dengan sekolah dasar lainnya, baik jumlah maupun kualitasnya. Terlepas dari jumlah dan kualitasnya, yang pasti semua komponen yang dimiliki oleh sekolah dasar merupakan masukan (input) yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis masukkan, yaitu masukan sumber daya manusia (human resources input), masukkan material (material input) dan masukan lingkungan sekolah (environmental input). Semua dikelola secara professional bagi keberhasilan belajar mengajar di sekolah dalam rangka membawa anak didik sebagai masukan mentah (raw input).

 Masukan SDM
Masukan sumber daya manusia (SDM) di sekolah meliputi keseluruhan personel sekolah, misalnya kepala sekolah, guru dan pesuruh. Dalam kondisi normal, personel sekolah dasar terdiri dari seorang kepala sekolah, enam orang guru kelas, seorang guru mata pelajaran pendidikan agama, seorang guru mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, dan seorang pesuruh sekoloah. Jadi, secara keseluruhan terdapat sepuluh personel sekolah dasar.

 Masukan Material
Masukan material adalah komponen instrumental yang meliputi kurukulum, dana dan segala komponen sekolah selain manusia, yang bias disebut juga dengan sarana dan prasaran sekolah. Dalam kondisi normal sarana dan prasarana sekolah terdiri atas enam ruang kelas, satu ruang kepala sekolah yang juga difungsikan sebagai ruang administrasi, prabot, buku tes, buku penunjang, buku bacaan, dan berbagai alat peraga.



 Masukan lingkungan
Menurut hanson (1985) sekolah merupakan sebuah sistem terbuka (open system) dan bukan sistem tertutup (closed input). Menurutnya sekolah itu merupakan sebuah sistem yang terkait dengan sebuah jaringan organisasi lain di luar sekolah seperti pusat pelatihan guru, badan akreditasi, kontraktor bangunan, departemen keuangan, penerbit buku, pemerintah daerah dan sebagainya. Sekolah dasar di Indonesia berada dalam satu jaringan organisasi, seperti masyrakat, Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), atu Komite Sekolah atau Dewan Sekolah, Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, organisasi profesi guru (PGRI), penerbit buku, dan departemen keuangan, keterkaitan sekolah dasar dan jaringan organisasi di luar sekolah

 Proses Pendidikan
Sesuai dengan namanya, komponen ini tidak berbentuk kasat mata melainkan berbentuk perangkat lunak. Yang dijabarkan dari kurikulum sekolah dasar yang berlaku. Proses pendidikan ini mencakup keseluruhan kegiatan belajar yang diikuti siswa sejak pagi sampai anak pulang dari sekolah, meliputi:
 Upacara bendera
 Senam pagi
 Kegiatan kurikuler
 Kegiatan ekstrakurikuler
 Kegiatan pendisiplinan siswa







 Siswa
Siswa merupakan komponen mentah. Artinya siswa dengan segala karakteristik awalnya merupakan subjek yang akan di didik melalui berbagai kegiatan pembelajaran di sekolah menjadi keluaran atau lulusan sebagaimana diharapkan.

1.6 PENTINGKAH SEKOLAH DASAR YANG BERMUTU?

Sebagai satu bentuk satuan pendidikan dasar, sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang paling penting keberadaannya (collier dkk., 1971). Setiap orang mengakui bahwa tanpa menyelesaikan pendidikan pada sekolah dasar atau sederajat, secara formal seseorang tidak mungkin dapat mengikuti pendidikan di SLTP. Berikut ini diuraikan pentingnya sekolah dasar dalam perspektif yuridis, teoretik, dan global.
1. Perspektif Yuridis
Apabila didasarkan pada PP Nomor 28 tahun 1990, khususnya pasal 3, paling tidak ada dua fungsi sekolah dasar. Pertama, melalui sekolah dasar anak didik dibekali kemampuan dasar. Kedua, sekolah dasar merupakan satuan pendidikan yang memberikan dasar-dasar untuk mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya.
2. Perspektif Teoretik
Pengaruh pendidikan sekolah dasar terhadap pendidikan pada jenjang berikutnya juga pernah disinggung oleh para teoretisi pendidikan, Stoops dan Johnson (1967), yaitu bahwa pendidikan di sekolah dasar merupakan dasar dari semua pendidikan. Keberhasilan seorang anak didik mengikuti pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam mengikuti pendidikan di sekolah dasar.
3. Perspektif Global
Besarnya peranan pendidikan di sekolah dasar sangat disadari oleh semua Negara di dunia dengan semakin meningkatnya investasi pemerintah pada sector tersebut dari tahun ke tahun. Beberapa informasi yang dipaparkan berikut ini merupakan bukti tentang hal tersebut.
 Data yang dikeluarkan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 1988 menunjukan bahwa investasi pemerintah, terutama di negara-negara Arab, Asia dan Amerika Latin, untuk pendidikan dasarnya terus meningkat sejak tahun 1960
 Di Negara-negara yang taraf pertumbuhan ekonominya tinggi pembangunan di bidang pendidikannya juga dimulai dengan dari pendidikan dasar.
 Begitu pula di Thailand, pembangunan di bidang pendidikannya ditekankan pada peningkatan mutu pendidikan dasarnya. Hal tersebut dapat dilihat dari pengelokasikan anggaran di Negara tersebut.


4. Bagaimana di Indonesia
Di Indonesia, ekspansi pendidikan sekolah dasar dilakukan sejak dilancarkannya beberapa instruksi presiden (Inpres) tahun 1973/1974. tidak kurang dari 3.7 triliyun rupiah telah diinvestasikan untuk pengembangan sekolah dasar, sehingga barngkali ia merupakan satu-satunya sukses pengembangan pendidikan sekolah dasar yang sangat mengagumkan tercatat dalam sejarah pendidikan di dunia (tilaar 1992). Melalui proyek-proyek yang diadakan atas dasar inpres tersebut, seperti :
1. inpres pembangunan gedung sekolah dasar;
2. inpres pengakatan guru sekolah dasar;
3. inpres pengadaan paket buku sekolah dasar, kesempatan di perluas kepada anak usia 7-13 tahun untuk mendapatkan pendidikan.
Sedangkan secara fungsional akademik berarti seluruh perangkat sekolah dasar, seperti tenaga, kurikulum dan perangkat pendidikan lainnya harus dipersiapkan untuk mengemban misi pendidikan.





BAB II
SEKOLAH DASAR YANG BAIK

2.1 APA YANG DIMAKSUD DENGAN SEKOLAH DASAR YANG BAIK?
Telah ditegaskan bahwa sekolah dasar harus dikelola dengan sebaik-baiknya sehingga menjadi sekolah dasar yang bermutu. Pertanyaanya sekarang adalah apa yang dimaksudkan dengan sekolah dasar yang bermutu. Oleh karena itu, sekolah dasar dapat dikatakan bermutu baik apabila mampu mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan kelembagaannya. Sepanjang perkembangan teori manejemen pendidikan, ada dua model teoritik, sebagai pendekatan yang sangat berguna dalam menetapkan sekolah yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh hoy dan ferguson (1985), yaitu mode tujuan dan model sistem.

1. Model Tujuan
Pertama adalah model tujuan, atau yang disebut juga dengan pendekatan pencapaian tujuan. Model tersebut berdasarkan pada pandangan tradisional, tentang keefektifan organisasi. Kelemahan pertama terletak pada pendefinisikan keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, yaitu prestasi akedemik siswa. Kelemahan kedua, walaupun pendekatan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi yang logis dan dianggap penting, namun keberlansungannya sangat terancam, sebab dalam penerapannya sekolah harus dalam kondisi memiliki yang diidentifikasi dan didiefinisikan dengan tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh kepala sekolah, supervisor dan guru dan mereka sendiri harus mengukur perkembangan percapaiannya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kondisi tersebut sering kali tidak ditemukan di sekolah-sekolah.





2. Model sistem
Model kedua adalah model sistem,atau yang disebut juga dengan model pendekatan, proses atau pendekatan multidimensional. Model tersebut berdasarkan pada konsep terbuka, biasa digunakan khusunya oleh analisi yang memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka yang terdiri dari masukan, tranformasi, dan keluaran (hoy dan miskel 1982). Sejarah perkembangan teori administrasi pendidikan menunjukan bahwa pada tahun 1960-an behitu banyak perhatian diberikan kepada proses dan alat, seperti iklim sekolah, gaya dan karakteristik kepemimpinan, praktik pembuatan keputusan dan strategi pemecahahn konflik, sehingga dengan tidak disadari topic-topik tentang belajar siswa dan keluaran siswa terabaikan (Sergiovanni 1987).

3. Model tujuan-sistem
Diatas telah dipaparkan dua model teoritik dalam menetapkan sekolah yang baik dan efektif. Kedua model teoritik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan menetapkan baik tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih memperhatikan kateristik, proses dan kondisi seperti konsistensi internal,kesuksesan mekanisme kerja dan efesiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam menetapakan baik tidaknya sekolah. Berikut ini dikedepankan dua teori yang mengkombinasikan model tujuan dan model sistem. Pertama dikembangkan oleh parsons (1960), dan kedua dikembangkan oleh postman dan weingartner (1979).









A. Teori Parsons
Parson (1960) tekah mengembangkan sebuah model keefektifan organisasi yang mengkombinasi kedua model atau pendekatan tujuan dan sistem diatas. Model parsons menegaskan bahwa keefektifan organisasi itu dapat dilihat dari empat dimensi, yaitu:
1. adaptasi,
2. pencapaian tujuan,
3. integrasi dan
4. latensi.

B. Teori Pstman dan Weingartner
Dua orang lainnya, yang pernah mengemukakan secara lengkap dengan mengkombinasikan model tujuan dan model sistem tentang indicator sekolah yang baik, adalah Pstman dan Weingartner (1979). Fungsi-fungsi esensial tersebut meliputi:
1. penstrukturan waktu
2. penstrukturan aktivitas yang harus diikuti siswa
3. pendefinisikan kecerdasan, kemapuan intelektual, prestasi dan prilaku yang baik
4. penilaian
5. pemisahan peran dan tanggung jawab antara guru dan siswa
6. supervise dan pengawasan terhadap siswa
7. pertanggung jawaban








2.2 SEKOLAH DASAR YANG BAIK MENURUT DIREKTORAT TAMAN KANAK-KANAK DAN SEKOLAH DASAR
Menurut direktorat pendidikan dasar (sekarang direktorat taman kanak-kanak dan sekolah dasar) (1997), ada tiga misi yang diemban oleh setiap kepala sekolah dasar, yaitu melakukan proses edukasi, proses sosialisasi dan proses tranformasi. Atas dasar kerangka berpikir di atas, sekolah dasar yang bermutu baik adalah sekolah dasar yang mampu berfunsi sebagai wadah proses edukasi, wadah proses sosialisasi, dan wadah proses transformasi, sehingga mampu mengantarkan anak didik menjadi seorang terdidik, memiliki kedewasaan mental dan social, serta memiliki ilmu dan teknologi termasuk juga kebudayaan bangsa.
1. Pembinaan kegiatan belajar dan mengajar
Kegiatan belajar mengajar merupakan inti dari keseluruhan program pendidikan di sekolah. Di SD, kegiatan belajar mengajar ditenkan pada pembinaan pembelajaran membaca, menuli, dan berhitung. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung merupakan tiga kemapuan dasar yang pertama kali harus diperkenalkan dan ditanamkan pada siswa sekolah dasar. Ketiga kemampuan ini sangat diperlukan oleh para siswa untuk menyerap dan mengembangkan ilmu pengetahu dan teknologi di kemudian hari.
2. Pembinaan Manajemen Pendidikan
manejemen pendidikan untuk sekolah dasar ditekankan pada manejemen kelas, manejemen sekolah dan manejemen gugus. Untuk pembinaan tersebut diselenggarakan tiga macam pelatihan bagi tenaga kependidikan yang terkait dengan pembinaan disekolah dasar, yaitu manejemen kelas, manajemen sekolah dan manajemen gugus sekolah.
A. Manajemen Sekolah
Pembinaan manajemen kelas, terutama sekali diadakan bagi para guru. Inti dari pelatihan ini ialah bagaimana mengatur siswa di dalam kelas yang bervariasi untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa secara aktif.


B. Manajemen Sekolah
Pembinaan manajemen sekolah dasar terutama ditujukan kepada para kepala sekolah dasar untuk dapat meningkatkan kemampuannya mengelola sekolah dasar yang dipimpinnya
C. Manajemen Gugus
Pembinaan manajemen gugus sekolah disediakan bagi pengawas, kepala sekolah, dan tutor serta guru pemandu

3. Pembinaan Buku dan Saran Belajar
Hampir sebagian sekolah dasar di Indonesia kekurangan buku. Padahal buku yang seharusnya ada atau disediakan di sekolah dasar terdiri atas buku pelajaran atau buku teks, buku bacaan dan buku pegangan/sumber.
A. Buku Teks
Buku teks terdiri atas buku teks pokok dan buku teks penunjang.
B. Buku Bacaan.
Buku bacaan sekolah adalah buku selain buku teks yang dimaksudkan untuk mendorong niat baca siswa
C. Buku Sumber/Pegangan
Buku-buku selain buku teks dan buku bacaan, biasanya dijadikan sebagai sumber bagi guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajara sehari-hari.
4. Pembinaan Fisik dan Penampilan Sekolah
Lingkungan sekolah menciptakan suasana yang dapat mendukung atau menghambat kegiatan belajar mengajar disekolah. Susana yang sejuk dapat diciptakan apabila di halaman sekolah ditanami pohon-pohon pelindung, yang memberikan rasa indah dan nyaman apabila halaman juga ditanami dengan bunga-bunga yang berwarna warni.




5. Peningkatan Partisipasi Masyarakat
Pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut bukan tanggung jawab bersama melainkan tanggung jawab yang bersifat komplementer. Tanggung jawab masyarakat tersebut antara lain di jabarkan dalam bentuk partisipasi masyarakat.


























BAB III
SEKOLAH DASAR BERWAWASAN KEUNGGULAN

3.1 HAKIKAT WAWASAN KEUNGGULAN
Wawasan keuunggulan merupakan cara pandang bangsa Indonesia untuk mewujudkan gagasan, ide, dan pemikiran dalam bentuk prilaku dan sikap yang tebaik menurut warga Negara secara konsisten dan berdisiplin rangka pembangunan bangsa. Keunggulan informasi dan konsep mengenai wawasan keunggulan hendaknya terus-menerus di masyarakat.
3.2 IMPLEMENTASI WAWASAN KEUNGGULAN DI SD
Banyak alternative yang dapat ditempuh dalam rangka mengimplementasi wawasan keunggulan melalui sitem pendidikan di sekolah dasar. Penerapannya bisa melalui program percepatan, program khusu, program kelas khusus dan program pendidikan khusus yang mereflesikan pendidikan keunggulan.
1. Sekolah Unggulan
Satu alternative yang dapat di tempuh dalam mengimplementasikan wawasan keunggulan di sekolah dasar adalah pengembangan sekolah unggulan. Idealnya implementasi wawasan keunggulan di sekolah dasar itu melalui sistem persekolahan unggulan.
2. Kelas Unggulan
Alternative lain dari implementasi wawasan keunggulan di sekolah dasar adalah melalui pengembangan kelas unggulan yaitu sejumlah siswa yang Karena prestasinya menonjol, dikelompokan di dalam kelas tertentu. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk membina siswa dalam mengembangkan kecerdasan, kemampuan, keterampilan dan potensinya seoptimal mungkin sehinggamemiliki pengetahuan, keterrampilan dan sikap yang tebaik sebagaiman konsep wawasan keunggulan.




3. Pembelajaran Unggulan
Secara konseptual, sekolah unggulan maupun kelas unggulan memang baik. Melalui kelas unggulan dimungkinkan untuk melahirkan lulusan yang unggul pula. Pembelajaran unggulan adalah proses belajar mengajar yang dikembangkan dalam rangka membelajarkan semua siswa berdasarkan perbadaan tingkatkeunggulannya (individual differences), untuk menjadikannya beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara mandirinamun tetap dalam kebersamaan dalam menghasilkan karya yang tebaik dalam menghadapi persaingan bebas dunia

3.3 PROFESIONALISASI GURU SEKOLAH DASAR
Dalam pengembangan pembelajaran unggulan sebagaimana dikonsepkan di atas tidak mudah, mempersyaratkan kegiatan guru yang juga bernilai keunggulan. Semua komponen dalam proses belajar mengajar, materi, media ,sarana dan prasarana dana pendidikan tidak akan banyak memberikan dukungan yang maksimal atau tidak dapat dimanfaatkan secara optimal bagi perkembangan proses pembelajaran unggulan tanpa didukung oleh keberadaan guru yang secar kontinu berupa mewujudkan gagasan, ide dan pemikiran dalam bentuk prilaku dan sikap yang tebaik sebagai tugasnya sebagai pendidik.


BAB IV
KONSEP MANAJEMEN


4.1 APA YANG DIMAKSUD DENGAN ADMINISTRASI?
Secara etimologi istilah administrasi berasal dari Bahasa Latin yaitu administrare yang berarti membantu atau melayani. Secara definitive administrasi dapat diartikan secara sempit dan luas. Administrasi merupakan keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan pada rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

4.2 APA YANG DIMAKSUD DENGAN MANAJEMEN?
Sesuai dengan uraian diatas para pakar administrasi pendidikan seperti sergiovanni, Burlingame, coombs dan Thurston (1987) mendefinisikan manejemen sebagai process of working with and through others to accomplish organizational goal efficienctly yaitu proses kerja dengan dan melalui (mendayagunakan) orang lain untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Oleh karena definisinya itu banyak pakar administrasi pendidikan yang berpendapat bahwa manejemen itu merupakan kajian administrasi ditinjau dari sudut prosenya.

4.3 APA SAJA LANGKAH-LANGKAH MANAJEMEN?
Akhir-akhir ini banyak pakar manejemen dan administrasi pendidikan yang mendefinisikan langkah-langkah manajemen. Mengidentifikasi langkah-langkah manajemen sebagai berikut:
1. Identifikasi masalah 7. Pengkoordinasian
2. Diagnosis masalah 8. Pendelegasian
3. Penetapan tujuan 9. Penginisasian
4. Pembuatan keputusan 10. Pengkomunikasian
5. Perencanaan 11. Kerja dengan kelompok-kelompok
6. Pengorganisasian 12. Penilaian


4.4 TUJUAN MANAJEMEN
Tujuan manajemen adalah terselenggaranya keseluruhan program kerja secara efektif dan efisien. Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam artian umum bermakana hemat. Jadi ada dua tujuan pokok dengan diterpakannya manajemen dalam suatu penyelesaian pekerjaan, organisasi, instansi atau lembaga
1. Efektivitas
Pertama, tujuan manajemen itu diupayakan dalam rangka mencapai efektivitas. Suatu program kerja dikatan efektif apabila program kerja tersebut dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnnya.
2. Efisiensi
Kedua, manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam peleksanaan setiap program. Efisiensi merupakan merupakan suatu konsepsi perbandingan antara pelaksanakan satu program dengan hasil akhir yang diraih atau dicapai.
a. Efisiensi ditinjau dari usaha/pelaksanaan program
Apabila ditinjau dari segi pelaksanaannya, sebuah program dapat dikatakan efisiensi apabila hasilnya dapat dicapai melalui upaya yang sekecil-kecilnya atau sehemat-hematnya/
b. Efisiensi ditinjau dari hasil program
Ditinjau dari segi hasil penylenggaraan sebuah program dapat dikatan efisiensi apabila dengan usaha tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya.









BAB V
KONSEP MANAJEMEN SD

5.1 PENTINGNYA MANAJEMEN DI SEKOLAH DASAR
Sekolah dasar tidak ubahnya sebagai sebuah instusi atau lembaga. Sebagai instusi atau lembaga pendidikan, sekolah dasar menyelenggarakan berbagai aktivitas pendidikan bagi anak didik dan melibatkan banyak komponen, sehingga aktivitas maupun komponen pendidikan di sekolah dasar menuntu adanya manajemen yang baik dalam ranagka mencapai institusional sekolah dasar.

5.2 APAKAH MANAJEMEN SEKOLAH DASAR ITU?
Pada bab 4 telah dikemukakan dua definisi tentang manajemen. Pertama sebagaimana didefinisikan oleh sergiovanni, Burlingame, coombs dan Thurston (1987) bahwa manajemen merupakan process of working with and through others to accomplish organizational goal efficienctly. Kedua sebagaimana dikemukakan oleh Gorton (1983) bahwa manajemen merupakan metode yang digunakan administrator dalam melakukan tugas-tugas tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan kedua definisi tersebut diatas manajemne sekolah dasar dapat diartikan sebagai proses dimana kepala sekolah dasar sebagai administrator bersama atau orang lain berupaya mencapai tujuan intitusional sekolah dasar secara efisien.

5.3 KEGIATAN MANAJEMEN SEKOLAH DASAR
Di dalam bab I telah dideskripsikan keseluruhan komponen di sekolah dasar. Semakin besar sebuah sekolah semakin banyak pula komponen orang yang dilibatkan atau fasilitas yang digunakan. Agar dapat mencapai tujuan yang efektif dan efisien tentuntunya semua orang yan dilibatkan dan fasilitas yang digunakan perlu didayagunakan sedemikian rupa bagi keberhasilan pendidikan di sekolah dasar. Prose pendayagunakan semua komponen sekolah dasar itulah yang disebut dengan kegiatan manajemen sekolah dasar.

BAB VI
DESENTRALISASI MANAJEMEN SD

6.1 DESENTRALISASI PENGELOLAAN SD PRATHUN 2001
Sebenarnya desentralisasi pengelolaan sekolah dasar telah diberlakukan sejak lama yaitu pada tahun 1951, setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1951. Peraturan tersebut berisikan penyerahan sebagai urusan pemerintah pusat dalam bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan kepada pemerintah daerah. Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1951 Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah nomor 45 tahun 1992 penyelenggaraan SD menjadi bawah naungan dua departemen, yaitu departemen pendidikan dan kebudayaan serta departemen dalam negeri.

6.2 DESENTRALISASI PENGELOLAAN SD PASCA TAHUN 2001
Setelah reformasi digelindingkan penyelenggaraan pemerintah dengan menitikberatkan pada pelaksanaan otonomi daerah sudah sampai pada tuntutan atau kehendak seluruh daerah yang semakin mendesak. Bahkan ada sebagian pemerintah daerah yang menginginkan otonomi daerah yang lebih luas sekadar yang disyaratkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dan peraturan pemerintah No. 45 Tahun 1992. dikatakan demikian karena apabila merujuk kepada kedua landasan yuridris tersebut maka dengan otonomi daerah berarti bahwa sebagian besar urusan pemerintah selama ini ditangani secara sektoral oleh pemerintah pusat melalui kantor departemen akan diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat II.

6.3 FORMULA MANAJEMEN MAKRO SD PASCA TAHUN 2001
Bagaimana formulasi manajemen pendidikan dalam kerangka otonomi daerah sesuai dengan semangat undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentu tidak dapat dibahas secara komprehensif dan rinci dalam buku sederhana ini. Lebih-lebih sampai sekarang peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut undang-undang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar belum begitu banyak.

BAB VII
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU
SD BERBASIS SEKOLAH

7.1 DEFINISI MPMBS
Di beberapa Negara terdapat berbagai istilah lain untuk MPMBS selain manajemen berbasis sekolah, yaitu site-based management, delegated management, school authonomy, dan local management of school. Walaupun dengan berbagai istilah yang berbeda namun secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah swasta dan lembaga-lembaga pendidikan pesantren. Oleh karena itu adanya upaya pemerintah pusat menggelakkan MPMBS harus dipahami.
7.2 DEFINISI OPERASIONAL MPMBS
Secara operasional MPMBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan. Istilah komponen mencakup kurikulum dam pembelajaran kesiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, dan keuangan sendiri
7.3 TUJUAN MPMBS
Menurut direktorat jendral pendidikan dasar dan menengah (2000), MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, diharapkan:
1. sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya untuk kemudian dapat mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolah
2. sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai kebutuhannya
3. sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah.


BAB VIII
LANGKAH OPERASIONAL MPMBS
DI SEKOLAH DASAR

8.1 MODEL MPMBS
Telah ditegaskan di dalam bab 7 bahwa secara operasional MPMBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama pihak yang tekait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan. Oleh karena itu sebagai proses, implementasi MPMBS di sekolah dasar melalui langkah operasional tertentu yang sistematis.
8.2 PROSES MPMBS
Diatas telah dikedepankan berbagai model MPMBS. Ditinjau dari formulanya antara satu model dengan model lainnya tampak memiliki perbedaan. Namun secara substansif memiliki kesamaan dan dapat disimpulkan bahwa MPMBS itu pada dasarnya merupakan sebuah proses yang bersiklus. Proses MPMBS terdiri dari:
1. pengembangan visi sekolah
2. evaluasi diri dalam rangka mengidentifikasiberbagai kebutuhan pengembangan
3. identifikasi kebutuhan-kebutuhan pengembangan
4. perumusan tujuan
5. penyusunan program peningkatan
6. implementasi program
7. evaluasi diri untuk kepentingan peningkatan mutu berikutnya

Sabtu, 23 Mei 2009

Pendidikan Non Formal 3

Artikel 1:
Peran Strategis Pendidikan Non Formal
S U W A N T O
Di samping mengembangkan pendidikan formal, Indonesia juga berkonsentrasi menata sektor non formalnya. Peluang ke arah situ terbuka lebar dikarenakan banyaknya peminat untuk bisa melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi yang beorientasi pada ketrampilan kerja.. Dilihat dari subtansinya, pendidikan nonformal di sini adalah sebuah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai atau setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah proses penilaian atau penyetaraan oleh lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standart nasional pendidikan. Dengan hal ini ijazah yang bisa dikeluarkan oleh lembaga pendidikan nonformal tidak meragukan bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam pendidikan nonformal tersebut. Kini di berbagai daerah sangat banyak dengan adanya program pendidikan nonformal, baik itu jenis program apa yang diinginkan oleh semua pelajar dan mahasiswa sesuai dengan keahlianya masing-masing.
Pada umumnya dalam pendidikan nonformal, peminatnya berorientasi kepada pada studi yang singkat, dapat kerja setelah menyelesaikan studi, dan biayanya pun juga tidak terlalu mahal, sehingga tidak meresakan bagi seorang pelajar atau golongan ekonomi menengah. Kini pendidikan non formal dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan dapat meluluskan banyak mahasiswa yang berkualitas dan unggul dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya program pendidikan bermodel demikian, angka pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan dari tahun ke tahun
Pendidikan non formal pun berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional. Contoh dari pendidikan noformal pendidikan seperti adalah ADTC dan Marcell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut di pertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumamo selaku Branch Manager English Langguage Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua refrensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah ketrampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini digeluti. Tujuanya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang digeluti, serta meningkatkan keunggulan kompetetif yang dimiliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar inventasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani.
Artikel 2 :
Penyetaraan Home Schooling
Jakarta -- Direktur Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Ella Yulaelawati mengatakan siswa yang mengikuti pendidikan home schooling atau sekolah rumah bisa disetarakan dengan siswa sekolah biasa. Peserta home schooling harus mengikuti ujian persamaan pendidikan nonformal berupa kejar paket A untuk sekolah dasar, paket B untuk sekolah menengah pertama, dan paket C untuk sekolah menengah atas atau ujian di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat.
"Mata pelajaran yang diujikan sama seperti pendidikan formal, yang disesuaikan dengan tingkatannya," kata Ella di Jakarta kemarin. Untuk peserta didik home schooling privat, kata Ella, akan masuk ke dalam pendidikan informal. Sedangkan home schooling yang merupakan gabungan dari beberapa siswa atau sekolah majemuk masuk dalam kategori pendidikan nonformal, seperti kelompok belajar. "Sampai saat ini belum ada data yang pasti berapa jumlahnya," kata Ella.

Artikel 3 :
PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK MASYARAKAT PEDESAAN
Abstrak : Warga masyarakat pedesaan sebagai bagian dari komunitas penduduk yang memerlukan layanan pendidikan nonformal, selayaknya mendapat layanan pendidikan yang sesuai kebutuhan belajarnya. Untuk mengembangkan dan melaksanakan pendidikan nonformal bagi mereka, dapat dilakukan melalui program riset, program pendidikan nonformal yang menggunakan bahasa ibu, program radio PNF dan program lab-site PNF.PENDAHULUAN Antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal telah saling melengkapi. Out put pendidikan formal (sekolah) dari berbagai jenjang yang kurang memiliki keterampilan, sebagian dapat dilengkapi dengan keterampilan untuk dapat bekerja pada instansi negeri dan swasta, atau mengembangkan usaha mandiri (wirausaha). Selain itu mereka yang putus sekolah dan tidak sempat mengikuti pendidikan formal diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan nonformal (program pendidikan life skill) sehingga mampu meningkatkan taraf hidupnya. Bersamaan dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan nonformal, terdapat masalah-masalah atau kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi atau ditanggulangi dalam pembangunan selanjutnya. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah masalah pemerataan pendidikan. Dalam hal ini diakui bahwa masyarakat pedesaan terutama masyarakat terpencil dan terisolir masih belum terjangkau pendidikan termasuk pendidikan nonformal. Kelompok masyarakat ini perlu mendapat perhatian, sehingga kualitas dan taraf hidupnya dapat ditingkatkan. Tentu saja keberadaan mereka perlu diketahui sehingga dapat dirancang program-program pendidikan nonformal yang relevan dengan kebutuhan belajar merekaPERMASALAHAN

Masyarakat desa memiliki bahasa lokal yang masih digunakan dalam pergaulan hidup. Bagaimana upaya pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan melalui bahasa lokal mereka sekaligus melestarikan bahasa lokal sebagai aset budaya bangsa
Sebagian masyarakat desa hidup di daerah terpencil/ terisolir. Hal ini merupakan persoalan untuk dijangkau dengan program pendidikan nonformal
Kebutuhan belajar masyarakat desa beraneka ragam, namun belum diketahui secara jelas sehingga sulit untuk merancang program-program pendidikan nonformal yang relevan dengan kebutuhan belajar mereka
Potensi alam masyarakat desa cukup banyak dan bervariasi, Namun terbatas kemampuan/ keterampilan warganya untuk memanfaatkan secara produktif.
PROGRAM-PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT PEDESAAN

Program Riset Pembangunan pedesaan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat tinggal di daerah pedesaan dengan lingkungan yang memiliki potensi alam yang melimpah, lagi pula pembangunan pedesaan menyentuh langsung kepentingan masyarakat desa. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya memberikan perhatian besar dan lebih serius terhadap pembangunan desa. Sekalipun kemajuan dalam pembangunan desa telah banyak dirasakan manfaatnya, namun masih banyak pula masalah-masalah yang perlu dipecahkan untuk lebih memantapkan pembangunan desa. Khususnya dari segi peningkatan dan pemerataan pendidikan nonformal perlu ditemu kenali aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat desa sebagai subyek (warga belajar). Untuk maksud itu setiap lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan pendidikan nonformal pada masyarakat pedesaan perlu melaksanakan kegiatan penelitian secara mendalam dan luas. Menyadari akan kepincangan-kepincangan yang ada di daerah pedesaan, maka program riset dalam rangka pelaksanaan pendidikan nonformal bagi masyarakat pedesaan merupakan satu kebutuhan. Salah satu jenis penelitian yang akurat dan cepat hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan adalah action research. Untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihadapi masyarakat desa perlu dikembangkan jenis penelitian ini.
Program Pendidikan nonformal dengan Menggunakan Bahasa Ibu Masyarakat pedesaan terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa lokal masing-masing, ingat saat ini masih digunakan secara lisan dalam pergaulan hidup seharĂ­-hari. Pesan-pesan pendidikan nonformal akan lebih mudah dan cepat dihayati dan dimengerti oleh masyarakat apabila disampaikan dalam bahasa lokal atau bahasa ibu mereka. Selain itu, dengan menggunakan bahasa ibu dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan nonformal, sekaligus dapat melestarikan bahasa ibu guna memperkaya kebudayaan nasional. Hasil penelitian Jim Cummis (2005) menjelaskan bahwa anak-anak yang kuat akan lebih dapat membangun kemampuan keaksaraan mereka dalam bahasa yang digunakan di temapat pendidikan. .Jika orang tua dan pengasuh lainnya (misalnya kakek atau nenek) bisa meluangkan waktu dengan anak-anak mereka, serta bercerita atau mendiskusikan masalah tertentu sehingga dapat mengembangkan keaksaraan dalam konsep bahasa ibu mereka, maka anak-anak bisa lebih siap untuk mempelajari bahasa di tempat pendidikan, dan berhasil dalam pendidikan mereka. Pengetahuan dan keterampilan mereka dialihkan dari bahasa ibu yang telah mereka pelajari di rumah ke dalam bahasa yang digunakan di tempat pendidikan. Dari sudut pandangan pengembangan konsep dan keterampilan berfikir anak-anak, kedua bahasa ini saling bergantung satu sama yang lain. Pengalihan lintas bahasa terjadi secara dua arah, jika bahasa ibu dipromosikan di sekolah (misalnya dalam program pendidikan dwibahasa) makan konsep kemampuan berbahasa dan ketrampilan keaksaraan yang dipelajari oleh anak- anak dalam bahasa ibu mereka. Singkatnya kedua bahasa itu bisa saling terpelihara jika lingkungan pendidikan mendukung anak-anak untuk menggunakan dua bahasa. Dengan pendekatan bahasa ibu dalam proses pembelajaran, peluang untuk keberhasilan cukup tinggi karena yang dipelajari adalah ucapan, kata-kata yang setiap saat muncul di dalam kehidupan baik dalam proses sosial, ekonomi maupun proses budaya. Pemahaman makna yang dipelajari akan lebih mudah dimengerti karena kata-katanya sudah menjadi bagian tentang apa yang telah dikerjakan atau dilakukan dalam kehidupannya. Manfaat yang didapatkan dari pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa rimba) adalah:

Bisa menjadikan lebih cepat akrab dengan warga belajar
Bisa mempelajari dan memahami struktur bahasa warga belajar
Warga belajar dapat melestarikan adat mereka
Memotivasi pada warga belajar untuk menularkan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung kepada generasi berikutnya.

Program Radio Siaran Pendidikan Nonformal Kegiatan dan peristiwa pembelajaran, khususnya pendidikan nonformal perlu diusahakan melalui berbagai altrenatif program strategis yang bervariasi dan inovatif, sehingga dapat memberikan pelayanan secara maksimal kepada setiap warga masyarakat sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kecepatan dan ketepatan belajar setiap warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat perluasan dan pemerataan belajar bagi seluruh lapisan masyarakat. Salah satu alternatif pembelajaran pendidikan nonformal yang cukup strategis dan inovatif adalah saluran media. Melalui media pesan atau bahan belajar dapat dikomunikasikan ecara efektif untuk merangsang pikiran, sehingga terdorong untuk belajar secara optimal. Radio sebagai salah satu media dengar, cukup efektif terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang sulit menjangkaunya (terpencil / terisolir). Hal itu dapat dipahami karena masyarakat terpencil sulit dijangkau secara langsung melalui media cetak dan media visual (televisi), yang dapat diusahakan dan diimiliki masyarakat terpencil / terisolir adalah radio. Untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pendidikan nonformal secara luas kepada masyarakat, terutama yang hidup di daerah terpencil / terisolir, sangat diperlukan radio siaran pendidikan nonformal.
Program Lab-site Pendidikan Nonformal Bila dikaitkan dengan kebutuhan belajar masyarakat pedesaan, maka perlu dirancang ujicoba model-model pembelajaran pendidikan nonformal yang relavan dengan kebutuhan masyarakat. Kegiatan ujicoba ini lebih intensif bila dilaksanakan pada suatu wilayah / lokasi yang dirancang khusus sebagai lab-site PNF. Selain itu pelatihan bagi para tenaga tutor dan pembelajaran warga masyarakat akan lebih berhasil bila diselenggarakan pada lab-site PNF. Dengan demikian sangat diperlukan suatu lab-site PNF yang akan berfungsi sebagai tempat praktek atau tempat rintisan program-program PNF dan tempat latihan bagi tutor-tutor dalam membelajarkan warga belajar. PENUTUP Memahami kondisi warga masyarakat pedesaan dalam berbagai dimensi kehidupannya merupakan suatu keharusan bagi para pemerhati, pemikir dan praktisi pendidikan nonformal. Warga masyarakat pedesaan sebagai bagian dari komunitas penduduk yang memerlukan layanan pendidikan nonformal, hendaknya mendapat perhatian, dengan cara memberikan layanan pendidikan yang sesuai kebutuhan belajarnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya nyata bagi mereka, antara lain melalui program riset, program pendidikan nonformal yang menggunakan bahasa ibu. Program radio PNF dan program lab-site PNF, merupakan program yang disajikan hanya merupakan bagian kecil dari program-program yang dapat menyentuh kebutuhan mendesak bagi warga masyarakat pedesaan, sehingga pengembangan model-model pembelajaran perlu terus dilakukan.

Artikel 4 :
Prestasi Pendidikan Non Formal Kota Bukittinggi
Pendidikan Non Formal (PNF) Kota Bukittinggi meraih prestasi tingkat nasional. Dalam jambore yang diikuti 1000 PTK-PNF di Semarang berhasil menduduki peringkat 5, 6, 7 dan 13 untuk empat cabang yang diikuti. Begitu laporan Putri Lenggogeni Roesma, SE yang juga Direktris KKW Srikandi Bukittinggi yang disampaikan dalam acara silaturahmi dan Berbuka Bersama jajaran lembaga PNF dengan Pemerintah Kota Bukittinggi dan PWI Perwakilan Bukittinggi, Sabtu (06/09/08). Menurut Putri Lenggogeni, kontingen Sumatra Barat mendapat kunjungan yang paling ramai dalam jambore ini. Berbagai informasi tentang Sumatra Barat diminta pengunjung, namun dalam kondisi yang serba terbatas semua pertanyaan dapat dijawab dan pengunjung merasa cukup puas dengan pelayanan yang diberikan. Ditambahkan Putri, adanya pengalokasian dana 20 persen dari APBD Kota Bukittinggi untuk sektor pendidikan, merupakan suatu langkah maju yang perlu tetap dipertahankan di masa mendatang. Namun kepada pemerintah terutama Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi diminta untuk lebih transparan dan berimbang dalam memanfaatkan dana tersebut antara pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Sekda Kota Bukittinggi, Drs. H. Khairul menyatakan, dalam dunia pendidikan baik formal maupun non formal, Kota Bukittinggi sangat berprestasi. Artinya Pemko Bukittinggi lebih mementingkan pembangunan sumber daya manusia. Keseimbangan pembangunan fisik dan non-fisik sangat diperhatikan Pemko Bukittinggi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Lagu Indonesia Raya ".....bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya." Dalam menyelenggarakan pembangunan, kata Khairul, Pemko Bukittinggi akan selalu memperhatikan kepentingan masyarakat. Sarana dan prasarana yang dibangun pun disesuaikan dengan kepentingan umum. Konsep dan motto gerakan pembangunan yang dilaksanakan Pemko Bukittinggi; Ă°ari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat". "Siapa pun masyarakatnya berhak mendapatkan informasi dan pelayanan yang sama dari pemerintah Kota Bukittinggi. Aparatur pemerintah di jajaran Pemko Bukittinggi juga sudah dibekali dengan paradigma menjadi pelayan masyarakat dan pengabdi negara," kata Khairul. Agar kebutuhan pada sektor PNF terakomodasi dalam APBD Kota Bukittinggi tahun 2009 nanti, diharapkan jajaran HIPKI dan jajaran PNF dapat menyusun perencanaan dan pengganggaran melalui Dinas Pendidikan. "Lakukan pengawalan dan perjuangkan sampai ke tingkat sidang di legislatif!" pinta Khairul.

Artikel 5 :
"Homeschoolers", Bisa Kuliah juga, Kok...
Sekolah rumah atau homeschooling, terutama di kota-kota besar, mulai populer. Apa sih homeschooling?
Singkatnya, homeschooling itu metode pendidikan belajar-mengajar yang dilakukan di rumah, baik oleh orangtua maupun tutor. Sebenarnya sih enggak harus di rumah. Intinya, mereka yang menjalani homeschooling harus bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.
Materi pelajaran buat siswa homeschooling atau homeschoolers itu bisa sesuai dengan kurikulum nasional (sama dengan yang dipelajari abu-abuers di sekolah formal), kurikulum internasional, atau gabungan. Waktu belajarnya lebih fleksibel, jadi biasanya homeschoolers punya banyak kesempatan mendalami bidang pelajaran sesuai minat dan potensi masing-masing.
Pendidikan homeschooling bisa dilakukan satu keluarga, beberapa keluarga, atau bergabung dalam komunitas homeschooling. Karena keberadaannya sebagai salah satu bentuk pendidikan informal diakui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kamu enggak usah khawatir soal ijazah.
Peserta homeschooling seusia siswa SMA bisa ikut ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) Paket C, setara SMA. Kamu bisa ambil UNPK IPA dan IPS yang diselenggarakan dua kali setahun, pada Juli dan November.
Ada juga sih yang ikut ujian nasional (UN) di sekolah formal. Misalnya di Komunitas Sekolah Rumah Pelangi, Tangerang, homeschoolers punya dua pilihan. Mereka bisa ikut UNPK Paket C yang biayanya lebih murah, atau ikut UN SMA yang artinya bergabung dan bayar uang pendaftaran di suatu sekolah agar dimasukkan sebagai siswa yang berhak ikut UN.
Apa lulusan homeschooling enggak didiskriminasi? Seharusnya sih enggak boleh ada diskriminasi. Kan, dijamin undang-undang. Lagi pula, UNPK Paket C yang diikuti homeschoolers juga diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN. Standar nilai kelulusannya pun sama.
Alternatif
Buat mereka yang sibuk berkarier selain sekolah, seperti pemain sinetron yang hampir tiap hari shooting, homeschooling menjadi pilihan menarik. Atlet yang harus konsentrasi berlatih dan bertanding enggak usah khawatir bakal enggak bisa namatin sekolah karena tersedia pendidikan yang bisa menyesuaikan jadwal peserta.
Lha, abu-abuers yang bukan figur publik, apa alasannya ber-homeshooling?
Michael Tumiwa (19), warga Pamulang, Tangerang, bergabung dengan homeschooling Kak Seto karena stres berada di lingkungan sekolah formal yang pergaulannya bisa berdampak negatif buatnya.
”Rasanya enggak konsentrasi sekolah karena banyak teman pakai narkoba. Aku merasa enggak nyaman di sekolah. Pas kelas III SMA, aku keluar, ikut homeschooling,” kata Michael yang sejak 2007 menjadi mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.
Biar dari homeschooling, dia enggak merasa beda dengan teman-teman lain lulusan sekolah formal. Sebagai homeschooler, Michael juga belajar bidang studi yang sama seperti saat dia menjadi siswa SMA jurusan IPS.
”Asyiknya, waktu dan cara belajar homeschooling fleksibel, tapi bukan berarti seenaknya. Justru aku harus bisa belajar sendiri. Tiap Senin dan Rabu selama dua jam aku datang ke homeschooling Kak Seto, bertemu teman-teman dan tutor sambil belajar bersama. Selebihnya, belajar sendiri di rumah,” tutur Michael yang hobi main gitar ini.
Karena enggak harus sekolah tiap hari, dia jadi punya waktu menjadi guru privat gitar. Selain menyalurkan hobi, sekalian dapat duit. Urusan pendidikan pun enggak terbengkalai.
Ivan Rizki (19), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations, juga lulusan homeschooling Kak Seto. Bagi Ivan, homeschooling adalah harapan terakhir untuk menyelesaikan SMA.
”Aku beberapa kali pindah sekolah di SMA yang bonafide. Tapi aku enggak cocok dengan cara belajar di sekolah formal yang serba ngikutin aturan. Aku enggak nyaman belajar di sekolah. Terus, aku baca di media bahwa ada homeschooling. Aku jadi bersemangat buat menyelesaikan SMA-ku dengan cara yang lebih sesuai buatku,” ujar Ivan.
Kebutuhan individu
Apa yang dialami siswa seperti Ivan, dalam pandangan Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif, memerlukan metode pendidikan sesuai kebutuhan individu.
Siswa yang punya kendala psikologis (mudah stres dan tertekan belajar di sekolah), geografis (tempat tinggal jauh dari sekolah), dan ekonomis (dari keluarga tak mampu), bisa menemukan alternatif pendidikan dengan homeschooling yang umumnya fleksibel, menyesuaikan dengan minat dan potensi tiap individu.
Ivan bercerita, sebagai homeschooler, tak berarti dia bebas dari kewajiban belajar seperti di sekolah. ”Dengan homeschooling, aku lebih bisa menerima pelajaran. Aku punya jadwal belajar, dan itu dipantau para tutorku,” katanya.
Saat mendaftar perguruan tinggi, Michael dan Ivan enggak mengalami kesulitan meski mereka lulusan Paket C. Mereka yang mau ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) juga enggak ditolak meski berijazah Paket C. Ada juga, kok, homeschoolers yang diterima di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Indonesia.
Gilang Pratama (17), homeschooler yang bergabung dengan Komunitas Homeshooling Berkemas di Jakarta, sedang menyiapkan diri ikut UNPK Paket C IPA. Ia belajar diselingi main piano yang jadi hobinya.
Kata Gilang, dia memutuskan ikut homeschooling pada Januari lalu, sekembalinya dari program homestay di negeri Paman Sam selama setahun. Gilang mesti balik lagi di kelas dua pada sekolah lamanya.
”Aku rugi setahun dong. Terus, aku dapat informasi, pendidikan homeschooling sudah ada dan diakui,” ujar Gilang yang bakal bertolak ke Jerman guna kuliah di bidang komputer

Pendidikan Khusus 3

Artikel 1 :
Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus
JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.
Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.
Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris, yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.
Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.
"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.
Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.
Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.
Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.
Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.
"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.
Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Artikel 2 :
Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus
Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu? Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri. Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak. Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan. Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus. Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25). Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi. Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu. Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya. Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.

Artikel 3 :
Program Pendidikan Khusus Berbasis Kompetensi
Sekolah Luar Biasa B Negeri Pembina Tingkat Nasional Denpasar merupakan salah satu sekolah yang memiliki jenjang pendidikan lengkap sesuai dengan kurikulum PLB yang berbasis kompetensi dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah.
Program Pendidikan Khusus dilaksanakan dengan satuan pendidikan sebagai berikut :
Tuna Rungu Wicara:
1. Taman Kanak-kanak Luar Biasa B: untuk anak-anak usia 5-7 tahun dengan lama studi 2 tahun dengan penekanan pembelajaran pada pengembangan perilaku dan kepribadian, pengembangan kemampuan dan ketrampilan (bahasa, pengetahuan, kreatifitas dan kesehatan) dan program khusus pembelajaran bina persepsi bunyi dan irama.
2. Sekolah Dasar Luar Biasa B: untuk anak usia 8-15 tahun dengan lama studi 6 tahun dengan penekanan pada pembelajaran bidang matematika, IPA, ketrampilan (vokasional), kesehatan, kesenian, komputer dan program khusus pengajaran bidang muatan lokal, BPBI dll.
3. Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa B: untuk anak usia 16-18 tahun dengan lama studi 3 tahun dengan penekanan pada pembelajaran bidang matematika, IPA, ilmu sosial, Bahasa Inggris, kesehatan, kesenian dan ketrampilan khusus seperti komputer dan manajemen, tata boga (food and beverage service), perawatan kecantikan, rekayasa teknik, ketrampilan bidang perkayuan, otomotif, keramik dll.
4. Sekolah Menengah Atas Luar Biasa B: untuk remaja usia 19-21 tahun dengan lama studi 3 tahun dengan penekanan pada bidang matematika, IPA, ilmu sosial, bahasa Inggris, kesehatan, kesenian dan komputer serta pendidikan ketrampilan khusus yang mencakup komputer dan manajemen, tata boga (food and beverage service), perawatan kecantikan, rekayasa teknik, ketrampilan bidang perkayuan, otomotif, keramik dll.
5. Retardasi Mental
Disampaing program tersebut di atas SLBB PTN Denpasar juga melaksanakan pendidikan khusus untuk Retardasi dari TKLB.C dan SDLB.C.
6. Autisme
Layanan yang diberikan dalam bentuk terapi pendidikan mulai 2 tahun sampai usia sekolah. Selanjutnya diberikan pendidikan formal.
7. Pusat Layanan Pendidikan Bagi Siswa Korban NarkobaMemberikan layanan pendidikan sesuai dengan jenjang kelas dan usia dan terutama sosialisasi program pencegahan penyalahgunaan narkoba.
8. Bengkel KerjaUntuk menunjang keberhasilan pendidikan tersebut di atas maka sekolah juga dilengkapi dengan pusat bengkel kerja/sheltered workshop yang telah berjalan dengan baik yang meliputi: 1. Bengkel Otomotif; 2. Kerajinan Tangan dan Tekstil; 3. Pertukangan Kayu; 4. Laboratorium Komputer; 5. Tata Boga; 6. Tata Rias Kecantikan; 7. Tata Busana; 8. Melukis dan 9. Keramik.

Artikel 4 :
Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus
KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Artikel 5 :
Tiga Juta Anak Butuh Pendidikan Khusus
Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.
”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.
Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik.

Pendidikan Anak Usia Dini 3

Artikel 1 :
Pendidikan anak usia dini
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:
Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.
Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini
Infant (0-1 tahun)
Toddler (2-3 tahun)
Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun)
Artikel 2 :
PAUD Sudah Menjadi Komitmen Internasional
Pendidikan Anak Usia Dini sudah menjadi komitmen internasional. Jadi harus dilakukan di setiap negara termasuk Indonesia. Ini antara lain berdasarkan Komitmen Jomtien Thailand tahun 1990 yang menyepakati perlunya memperjuangkan anak. Lantas deklasari Dakkar, Senegal tahun 2000 tentang pendidikan untuk semua.Berikut wawancara dengan Direktur PAUD. Bagaimana sesungguhnya komitmen Indonesia terhadap pendidikan anak usia dini ini?PAUD menjadi komitmen nasional, antara lain tertuang dalam amandemen UU 1945 pasal B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Bagaimana dengan sasaran PAUD Nonformal, apa target yang hendak dicapai? Sasaran PAUD nonformal anak 0-6 tahun dengan prioritas usia 2-4 tahun. Usia ini rawan dan kurang beruntung sehingga dijadikan sasaran utama. Sasaran lain orang tua/keluarga, calon orangtua, pendidik/pengelola PAUD, semua lembaga layanan anak usia dini dan para tokoh masyarakat dan stakeholders PAUD yang menjadi sasaran antara. Layanan PAUD nonformal ini bisa di Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain, serta Satuan PAUD Sejenis (SPS), yang merupakan satuan layanan PAUD nonformal, selain TPA dan Kelompok bermain. Target 2007 anak yang mendapat layanan PAUD 0-6 tahun 28,4 juta, usia 2-4 tahun 12,1 juta (APK PAUD 48,07 % dan Disparitas APK PAUD 4,22). Target 2008, usia 0-6 tahun 28,5 juta, dan usia 2-4 tahun 12,2 juta (APK PAUD 50,47% dan Disparitas APK PAUD 3,62), dan tahun 2009 targetnya PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,6 juta, usia 2-4 tahun 12,4 juta (APK PAUD 53,90% dan Disparitas APK PAUD 3,02). Dengan dimikian, pada akhir tahun 2009 nanti diharapkan sekitar 53 persen anak usia dini yang diprioritaskan usia 2-4 tahun dapat terlayani PAUD nonformal. .
Mengejar target itu bukanlah pekerjaan gampang. Apa saja tantangannya? Meskipun upaya peningkatan akses layanan PAUD mengalami peningkatan terutama jika dibanding serbelumnya, namun belum dapat mencapai hasil optimal karena tidak semua anak usia dini memperoleh kesempatan layana PAUD, khusus anak usia bawah 4 tahun. Padahal usia ini rawan serta kurang beruntung, belum semua orang tua, keluarga, dan masyarakat menyadari pentingnya pemberian layanan pendidikan anak usia dini, masih terbatasnya jumlah layanan PAUD, terutama lembaga PAUD nonformal, masih terbatasnya kuantitas dan kualitas pendidikan PAUD yang memiliki setifikasi dan kompetensi, PAUD belum menjadi pendidikan wajib.
Langkah apa saja yang ditempuh Direktorat PAUD? Kita perlu memberdayakan masyarakat melalui peningkatan kesadaran, dukungan, dan partisipasi aktif orangtua, keluarga, dan mayarakat, serta stakholders PAUD. Selain itu meingkatkan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai lembaga, organisasi mitra PAUD, dan meningkatkan perkembangan lembagalembaga PAUD jalur nonformal.
Apa lagi yang akan ditempuh Direktorat Pndidikan Akan Usia Dini dalam memperluas aksesnya? Kami akan meningkatkan kesadara agar mendukung peningkatan akses dan mutu layanan PAUD melalui membangun dan menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengembangan dan pendidikan anak usia dini, memperluas, memperkuat, dan meningkatkan jalinan kerjasama kemitraan dengan berbagai lembaga atau organisasi mitra PAUD, dan mendorong, mendukung, memotivasi, dan memfasilitasi tumbuhnya lembaga-lembaga layanan PAUD dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ada kiat meningkatkan kesadaran masyarakat ini? Kami lakukandengan pendekatan pemberdayaan semua program melalui wadah lembaga Forum PAUD di tingkat pusat dan daerah, pelembagaan konsorsium PAUD, dan pelembagaan HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependididkan Anak Usia Dini). Bentuk-bentukprogram dan kegiatan pemeberdayaan masyarakat antara lain melalui bantuan atau blockgrant rintisan PAUD, bantuan kerjasama kelembagaan PAUD, peningkatan mutu melalui pendidikan, pelatihan, dan magang, sosialisasi, promosi dan pemasyarakatan PAUD, pengembangan model PAUD kerja sama dengan perguruan tinggi, dan pengembangan jaringan kerjasama/kemitraan dengan berbagai lembaga/organisasi mitra PAUD.

Artikel 3 :
Pengajar PAUD Honornya Rp 50 Ribu Sebulan
Sulit dipercaya! Ternyata masih ada pengajar PAUD yang berhonor Rp 50 ribu sebulan. Tengok saja ke desa-desa di Jawa Tengah. Di sana, para pengajar PAUD, paling tinggi menerima honor Rp 100 ribu per bulan. Bahkan ada yang hanya menerima Rp 50 ribu sebulan. Padahal semua orang tahu beban tugas mereka cukup berat.
Kenyataan tersebut tentu cukup memprihatinkan. Jumlah nominal tersebut tentu mengenaskan dan tidak sebanding dengan dedikasi yang mereka berikan. Untuk menjaga program PAUD di Jawa Tengah, Himpaudi mengeluarkan imbauan pemkab/pemkot dapat memberikan bobot perhatian lebih dengan meningkatkan kesejahteraan para tenaga pengajar PAUD.
Pada 2006 lalu program PAUD di Jateng menerima kucuran dana dari APBN sebesar Rp 6,6 miliar serta dari Pemprov senilai Rp 3,6 miliar. Namun, mengingat wilayah cakupannya yang luas, dana tersebut tetap saja terasa kecil, katanya.
Penanggung Jawab PAUD Provinsi Jawa Tengah Joko Hartanto mengantakan, sejak pertama kali diperkenalkan hingga sekarang, perkembangan PAUD di Jateng sudah makin mantap.
Banyak daerah dengan dukungan pemkab/pemkot setempat beramai-ramai mendirikan lembaga PAUD. Hingga akhir 2006 lalu, di Jateng tercatat sudah berdiri sekitar 2.171 lembaga PAUD.
Miskin Kreativitas
Kesejahteraan yang rendah ternyata membawa dampak negatif pada banyak hal. Sebut saja kreativitas guru.
Kini cukup santer keluhan bahwa pengajar PAUD di daerah ini miskin kreativitas. Kenyataan inilah yang menjadi kendala program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Jawa Tengah. Akibatnya tentu bisa diduga: program PAUD belum terpacu.
Kendala itu terrutama dijumpai di desa-desa. Cukup banyak pengjajar yang mengalami krisis kreativitas. Padahal di sana, potensi anak usia dininya tinggi.
Kondisi yang memilukan,” ujar Ketua Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) Jawa Tengah, Nila Kusumaningtyas. Namun, katanya betapa pun kondisinya demikian, tapi tapi harus tetap disemangati. Pasalnya PAUD merupakan program nasional yang sangat strategis, khususnya dalam pembangun SDM berkualitas di masa depan.
Karena miskin kreativitas itulah para tenaga pengajar pun sering terjebak pada pola pembelajaran klasikal. Artinya pengajar cenderung menempuh jalan pintas dengan menekan anak agar bisa selekasnya menguasai calistung (baca, tulis, dan berhitung).
Padahal cara semacam itu dapat mengekang atau bahkan menjerumuskan anak. Kata Nila, dengan pola klasikal, anak-anak cenderung mengalami kebosanan atau kejenuhan dalam belajar manakala mereka kelak sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD).
Mengubah pola klasikal dalam pembelajaran di lembaga PAUD memang tidak gampang. Karena itu, untuk memacu kreativitas di kalangan pengajar, pihaknya kini rutin menggelar program-program pelatihan bekerja sama dengan masing-masing pemkab/pemkot se- Jateng. Pelatihan seperti ini sudah sangat mendesak, mengingat kebanyakan tenaga pengajar di lembaga PAUD hanya berijazah SMA, kata dia. Tentu saja kelemahan pengajar tersebut bisa ditimpakan semuanya pada mereka program tersebut lambat karena tingkat kesejahteraan para pengajarnya masih di bawah standar. Kondisi ini diperburuk dengan belum adanya wadah yang secara spesifik memberikan perlindungan dan pembinaan bagi tenaga pendidik PAUD jalur pendidikan nonformal (PNF).

Artikel 4 :
P A U D Masih Dipandang Sebelah Mata
Perhatian yang demikian kecil pada PAUD bukan hanya menghinggapi masyarakat kebanyakan. Kalangan birokrat pendidikan, terutama di daerah, masih belum melihat pentingnya PAUD.
Buktinya, kebijakan yang dibuat aparatur birokrasi pendidikan belum menyentuh PAUD. Para orang tua di pedesaan pun kurang memiliki kesadaran untuk memasukkan anaknya pada pendidikan anak usia dini.
Kondisi demikian lantas diperparah oleh faktor kemampuan ekonimi masyarakat pedesaan yang rendah. Maka, masyarakat desa pun seperti kata pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga”.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk untuk mengatasi masalah ini. Dirjen PLS Ece Suryadi mengatakan sosialisasi PAUD bagi masyarakat desa harus diutamakan.
Seperti diketahui, periode 0-6 tahun adalah usia emas seorang anak manusia. Dus, jika di usia ini anak ditangani dengan baik maka kita akan mendulang sumber daya manusia yang handal kelak di kemudian hari.
Sebaliknya jika kita salah menanganinya, hasilnya justru sebaliknya. Artinya bukan SDM bermutu yang dihasilkan melainkan SDM keropos.
Menangani anak usia dini ini haruslah komprehensif. Maksudnya, pendekatan yang harus diambil adalah dengan perawatan dan pendidikan. Di dalamnya ada tiga hal yang harus diintegrasikan yakni pendidikan, gizi dan kesehatan.
Di negara-negara maju, PAUD sudah ditangani dalam sistem yang mapan. Dengan begitu, pendidikan anak usia dini dikelola secara profesional. Tak mengherankan kalau SDM negara maju cukup bermutu karena sejak dini SDM-nya dipersiapkan dengan dengan baik.
Dalam masyarakat kota, kesadaran akan pentingnya PAUD sudah lebih baik. Para orang tua bahkan mempersyaratkan anaknya masuk Taman Kanak-kanak (TK). Hanya masalahnya, TK sebagai salah satu bentuk pelayanan PAUD (prasekolah) disalahkaprahi. Praktik pengelolaan TK di perkotaan ini terjebak sebagai lembaga formal. TK pun lebih bernuansa schooling (persekolahan). Padahal seharusnya TK dikelola dengan pendekatan preschooling (prasekolah). Pendidikan TK berkesan seperti kelas awal SD. Soalnya karakteristik materi dan strategi pembelajarannya kaku dan mengarah kepada pengembangan intelektual. Sebagai contoh, dalam kegiatan belajar di TK, guru menerangkan daun hanya di depan kelas (sangat verbalistis dan parsial). Padahal dalam pembelajaran tersebut, anak-anak bisa diajak keluar ruangan kelas untuk mengamati dan bercerita ihwal daun. Mestinya, pengelolaan pendidikan anak usia dini lebih tepat didekati dengan pendekatan nonformal dengan mengedepankan sentuhan emosi anak. Untuk iitu, pengembangan anak usia dini memerlukan pembenahan internal dari sisi kebijakan, pelurusan konsep dan strategi dalam pengelolaan, serta proses sosialiasi dan diseminasi PAUD kepada masyarakat terutama di pedesaan.

Artikel 5 :
Baru Separuh Jumlah Anak Terlayani PAUD
Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD berperan penting dalam penentuan pola pikir anak pada usia emas 0-4 tahun. Namun, PAUD masih cenderung ditelantarkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hingga kini, baru separuh dari total 29 juta anak usia dini di Indonesia yang telah terlayani oleh PAUD.
Tahun ini, menurut Direktur PAUD, Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional, Sujarwo Singowidjojo, pemerintah menargetkan pembentukan 16.800 PAUD baru dengan target utama rintisan di 50 kabupaten termasuk Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta.
Tiap kabupaten tersebut, lanjut Sujarwo, akan memperoleh bantuan dana senilai rata-rata Rp 3 miliar untuk pengembangan PAUD. Fasilitasi pemerintah daerah di Indonesia dinilai masih kurang terutama dalam mendukung pendanaan bagi operasional PAUD maupun honor tutor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Honor tutor dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), misalnya, baru saja naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 100.000 per bulan yang diberikan bagi 50.000 tutor dari total 160.000 tutor. "Kami mengimbau tiap bupati untuk menggalakkan program PAUD dengan dukungan APBD," kata Sujarwo ditemui di sela launching PAUD Unggulan di PAUD An Nur, Karangmojo, Kamis (26/2).
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DI Yogyakarta Suwarsih Madya dalam sambutan tertulisnya menyatakan terus berupaya menyosialisasikan PAUD ke seluruh lapisan masyarakat. Total jumlah siswa yang duduk di Taman Pendidikan Anak, Kelompok Bermain, dan Satuan PAUD Sejenis di DIY adalah 64.651 anak dengan 6.805 tutor.
PAUD An Nur didaulat menjadi pusat unggulan PAUD Gunung Kidul dan memperoleh bantuan block grant dari pemerintah pusat senilai Rp 150 juta. Pengurus PAUD An Nur, Alifatun, mengatakan, pendanaan operasional PAUD selama ini mengandalkan bantuan dari donatur serta subsidi silang dari orangtua murid.
Sujarwo menambahkan, kualitas hidup manusia ditentukan pada sejauh mana kualitas pendidikan di usia dini. Kemampuan kognitif justru berkembang pesat pada usia 0-4 tahun. "Di tangan para tutor, perbaikan generasi muda bangsa ini ditentukan," tambahnya.
Bupati Gunung Kidul Suharto mengakui bahwa pembentukan perilaku dan sikap dimulai sejak usia dini. Saat ini, baru sekitar 51 persen anak di Gunung Kidul mengenyam PAUD. Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul berupaya terus meningkatkan kualitas pendidikan dengan pendanaan dari APBD senilai Rp 318 miliar untuk pendidikan.

Pendidikan Tinggi 2

Artikel 1 :

Perguruan Tinggi Siap-siap Naikkan Biaya

BANDUNG, MINGGU -- Perguruan tinggi ditengarai kian sulit mengejar standar biaya ideal pelayanan pendidikan kepada mahasiswa. Apalagi, di tengah-tengah tingginya laju inflasi dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Perguruan tinggi berancang-ancang melakukan penyesuaian biaya kuliah terhadap calon mahasiswa baru.
Di Universitas Padjadjaran, khusus calon mahasiswa baru tahun 2008/2009, akan diberlakukan penyesuaian biaya penyelenggaraan pendidikan (BPP). Penyesuaian terjadi baik pada sistem pembayaran maupun besarannya. Mulai t ahun depan, biaya SPP beserta praktikum akan digabungkan menjadi satu. Termasuk, biaya-biaya tambahan lainnya.
Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Ganjar Kurnia, dihubungi Minggu (25/5) mengatakan, besaran biaya BPP itu menjadi rata-rata Rp 2 juta per se mester. Di luar itu, mahasiswa baru juga wajib membayar biaya pengembangan Rp 4 juta yang dikenakan sekali saja. Dijelaskan Ganjar, penyesuaian ini untuk memudahkan sistem administrasi.
Namun, ia mengakui, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, ada kenaikan plafon biaya pendidikan (tuition fee ) yang dibebankan ke calon mahasiswa. Rata-rata naiknya hanya Rp 250 ribu. Khusus untuk mahasiswa baru. Sebagai penyesuaian inflasi, ujarnya. Tahun sebelumnya, biaya kuliah mahasiswa rata-rata sebesar Rp 1, 5juta untu k eksakta dan Rp 1,350 juta untuk non-eksakta. Rinciannya, SPP sebesar Rp 600 ribu dan sisanya untuk praktikum.
Ia membantah, penyesuaian ini dipicu kenaikan harga BBM. Menurutnya, biaya SPP di Unpad terakhir kali naik 5 tahun lalu. "Jadi, wajar jika ada penyesuaian. Dulu, di tingkat fakultas kan, mahasiswa dibebani pungutan untuk kegiatan fakultas. Ke depan, ini tidak ada lagi. Semuanya jadi satu pintu. Biaya ospek (orientasi mahasiswa baru) juga tidak lagi dikenakan," paparnya.
Khusus mahasiswa lama, ucapnya, biaya tetap sama. Khusus jalur khusus (Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran), ungkap Ketua SMUP Prof. Ponpon S. Idjradinata, tidak ada penyesuaian tarif. Biaya yang dipersyaratkan dalam seleksi ini tetap sama, yaitu Rp 175 juta untuk Program Kedokteran, Rp 15 juta Rp 16 juta untuk kelompok program eksakta lainnya, dan Rp 10 juta Rp 45 juta untuk kelompok non-eksakta.
Bebaskan SDPA
Penyesuaian biaya sebelumnya juga telah dilakukan Institut Teknologi Bandung. Di kampus ini, Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Pokok (BPPP) tahun ajaran 2008 ini menjadi Rp 2,5 juta per semester. Atau, naik Rp 250 ribu dari tahun sebelumnya. Di luar itu, mahasiswa harus membayar biaya tambahan sebesar Rp 200 Rp 1 juta per semester sesuai prestasi akademik dan kemampua n mahasiswa. Namun, sebagai gantinya, di tahun ini pula, ITB membebaskan biaya SDPA (Sumbangan Dana Pengembangan Akademik (SDPA) pada lima program studi khusus, yaitu astronomi, meteorologi, oceanografi, kriya, dan seni rupa.
Sementara itu, Universitas Pendidikan Indonesia memilih untuk tidak menaikkan tuition fee tahun ini. Dijelaskan Koordinator Humas UPI Dutha Andika, biaya SPP UPI tetap sebesar Rp 900 ribu per semester, serupa dengan tiga tahun lalu. "Operasional UPI tidak mengandalkan SPP mahasiswa saja. Kami berupaya tidak ikut-ikutan latah akibat BBM naik," ujarnya. Menurutnya, ketentuan biaya ini sudah diputuskan Rektor.
Namun, sebelumnya, Rektor UPI Prof. Sunaryo Kartadinata memberikan isyarat sulitnya perguruan tinggi menjalankan operasionalisasi pendidikan. Apalagi, pada tahun depan, UPI dibebankan biaya operasional perawatan dan operasionalisasi gedung baru senilai Rp 400 miliar hasil pinjaman APBN dari Islamic Development Bank. Dari target biaya kuliah ( unit cost) ideal yang ditetapkan senilai Rp 18 juta per mahasiswa, UPI saat ini hanya sanggup memenuhi pada kisaran Rp 8 juta.

Artikel 2 :
Kuliah Lagi, Tak Melulu Demi Sertifikasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Raut wajah puluhan perempuan dan lelaki berusia 40 hingga 50-an tahun, yang duduk di bangku kayu berukuran dua orang, tampak serius mendengarkan paparan soal hukum pewarisan Mendel. Suasana hening sesekali pecah saat pengajar memancing peserta dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkait materi yang baru dipaparkan.
Meskipun usia tak terbilang muda lagi, puluhan guru yang kuliah atas inisiatif sendiri atau dikuliahkan pemerintah di Kabupaten Biak Nomfur, Papua, itu tetap bersemangat meraih gelar sarjana pendidikan. Selama empat semester atau dua tahun, guru-guru SD yang sudah kenyang dengan asam-manis jadi pendidik di Tanah Papua itu melakoni belajar secara mandiri, lalu beberapa kali tutorial atau kuliah tatap muka di Universitas Terbuka (UT) yang dipusatkan di SDN 1 Biak.
Keterbatasan sarana belajar karena umumnya hanya mengandalkan modul, tidak menghalangi mereka untuk terus belajar. Para tutor yang guru SMA bergelar sarjana pendidikan tetap bisa diandalkan untuk membantu proses itu.
Laban Rumbrapuh (52), Kepala SD YPK Bosnabraidi di Distrik Yawosi, setidaknya tiga kali seminggu menempuh jarak sekitar 60 kilometer untuk menghadiri kelas tutorial atau ujian. Perjalanan dua jam atau lebih itu tidak mudah karena taksi (angkutan umum) tidak selalu tersedia.
Namun, Laban, yang 27 tahun jadi guru, berusaha tidak absen dari jadwal bertatap muka dengan tutor (istilah dosen di UT). ”Pertemuan dengan tutor kan cuma 12 kali per semester. Selebihnya, belajar sendiri dari buku atau kaset atau VCD. Kadang-kadang materi yang sedang dipelajari semakin jelas jika dibahas secara langsung dengan tutor,” ujar Laban yang kuliah dengan beasiswa dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak.
Menurut Laban, mengingat usianya yang tak lagi muda, cukup sulit untuk bisa kembali ke bangku kuliah. Namun, kesempatan untuk kuliah lagi membuatnya bergairah untuk bisa belajar. ”Katanya untuk bisa ikut sertifikasi. Tetapi, buat saya ini kesempatan untuk meningkatkan diri,” kata Laban.
Elieser Wabiser (45), guru SD YPK Dwar, di Distrik Warsa, mengatakan, keinginan guru di daerah untuk pengembangan diri sangat kuat. Namun, tanpa difasilitasi pemerintah daerah, guru kesulitan untuk bisa terus mengembangkan diri.
”Untuk bisa sekolah S-1 lagi, misalnya, tidak mudah. Selain keuangan yang berat jika membiayai sendiri, di daerah terpencil tidak ada perguruan tinggi kependidikan. Kalau tidak dibukakan jalan oleh pemerintah, ya guru kesulitan. Untuk pelatihan lainnya juga biasanya kalau ada program dari pusat saja. Seringnya guru di kota yang dipilih,” kata Elieser.
Untuk bisa menjalani kuliah di UT yang fleksibel, tetapi guru tidak boleh sampai mengabaikan tugasnya, bukan hal mudah. Elieser terpaksa tidak penuh mengajar demi bisa mendapatkan taksi yang membawanya ke ibu kota. ”Pukul 11 saya sudah selesaikan mengajar supaya bisa ikut tutorial jam dua siang. Nanti, jam mengajar yang kurang diganti hari lain. Siswa belajar sampai sore,” kata Elieser yang 8 tahun jadi guru PNS.
Ada juga guru-guru yang mesti menyeberangi pulau, seperti di Padaido dan Numfor, agar bisa kuliah ke kota. Mereka kadang terhadang cuaca buruk.
”Guru-guru pasti ingin bisa meningkatkan kualitas dirinya supaya bisa menghasilkan anak-anak didik yang lebih baik. Tetapi, kesempatan mendapat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru terbatas. Apalagi, di daerah yang jauh dari kota tidak mendapat banyak kesempatan,” kata Aqwila Musen, guru SD YPK Samber, Distrik Yendidori.
Elieser yang membiayai sendiri kuliahnya itu mempertanyakan, ”Setelah guru ramai-ramai dikuliahkan S-1, terus apa? Yang penting itu kan guru terus dibina secara berkelanjutan agar pengetahuannya tidak ketinggalan, terutama guru di daerah pedalaman atau terpencil.”
Tantangan Berat
Yusuf Slamet, Kepala Seksi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Biak Nomfur, mengatakan tantangan meningkatkan kualifikasi akademik guru di daerah ini cukup berat. Baru sekitar 50 guru dari 3.000 guru SD bergelar sarjana pendidikan. ”Perkuliahan di UT cukup membantu karena penyelenggaraannya bisa disesuaikan keadaan di sini. Kami minta tutorial 12 kali dari pengajuan UT yang cuma delapan kali,” kata Yusuf.
Kondisi guru-guru di daerah yang minim dalam pengembangan diri tersebut sejalan dengan temuan Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Independen 2008 yang dibentuk Konsorsium Sertifikasi Guru.
”Guru tidak bisa lagi diabaikan. Berbicara sol guru, tidak semata-mata soal peningkatan kesejahteraan. Peningkatan mutu mereka dalam pembelajaran juga sama pentingnya. Kondisi itu bisa dicapai dengan pelatihan yang berkesinambungan dan tanpa henti untuk semua guru, jadi jangan hanya untuk kepentingan sertifikasi. Para guru itu sebenarnya haus menimba ilmu yang terus berkembang,” kata Unifah Rosyidi, Ketua Tim Monev Independen 2008, sekaligus Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia.
Belajar Mandiri
Di tengah gencarnya pemerintah mewujudkan guru TK - SMA sederajat yang minimal berkualifikasi akademik D-IV/S-1, peran UT yang sejak 1984 bersifat terbuka dan jarak jauh menjadi cukup penting. Perguruan tinggi ini memiliki unit program belajar jarak jauh (UPBJJ) di tiap provinsi dan menyelenggarakan perkuliahan hingga ke kecamatan.
Jumlah mahasiswa aktif di UT per Agustus 2008, 522.960 orang, --sekitar 12 persen jumlah mahasiswa seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Sebanyak 90 persen mahasiswa UT adalah guru, terutama guru SD.
M Atwi Suparman, Rektor Universitas Terbuka, mengatakan, belajar di UT harus siap belajar mandiri. Mereka dibekali bahan ajar seperti modul, audio visual, dan VCD yang didesain untuk bisa dipelajari sendiri, tidak bergantung kepada dosen atau tutor.
”Penggunaan internet untuk pembelajaran, registrasi, dan tutorial online sudah bisa diakses. Kendalanya, tidak semua daerah terjangkau internet dan tidak semua mahasiswa mampu menggunakan komputer,” katanya.
Tian Belawati, Pembantu Rektor I Bidang Akademik UT, menjelaskan, pemanfaatan internet sebagai sumber belajar masih rendah, terutama di kalangan mahasiswa yang bekerja sebagai guru. Baru sekitar 6.000 mahasiswa UT memanfaatkan tutorial online.


Artikel 3 :
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi sangat berbeda dengan di Inggris. Pendiri Republik Amerika Serikat sangat membatasi kekuasaan pemerintah di dalam meregulasi pendidikan tinggi yang dilandasi pada kekhawatiran timbulnya regulasi yang tersentralisir oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu di dalam UU Republik Amerika Serikat, institusi sosial yang berbasis sukarela (voluntary associations) memainkan peran cukup kuat di dalam regulasi berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan tinggi.
Perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di AS dimulai pada permulaan tahun 1780-an ketika the University State of New York diberi wewenang oleh Negara Bagiannya untuk mereview akademi-akademi yang ada di wilayahnya, khususnya meregistrasi kurikulum yang digunakan oleh setiap institusi pendidikan tinggi. Negara bagian lain ikut mengadopsi cara ini, misalnya Iowa pada tahun 1846, Washington pada tahun 1909, Virginia pada tahun 1912 dan Maryland pada tahun 1914.

Pada tahun 1847, American Medical Association merupakan asosiasi profesi pertama yang melakukan penilaian mutu pendidikan dokter secara sukarela. Akan tetapi, membutuhkan waktu hampir 60 tahun, untuk akhirnya semua fakultas kedokteran bersedia dinilai mutunya secara eksternal dan melakukan perbaikan sesuai rekomendasi.
Pada awal abad 20, menjamurlah berbagai asosiasi institusi pendidikan dari berbagai bidang yang berjumlah 602. Pada tahun 1930, North Central Association mengadopsi prinsip akreditasi yang lebih sederhana dan menggabungkan beberapa asosiasi institusi pendidikan untuk melakukan akreditasi.
Pada tahun 1930, ada dorongan yang kuat agar Pemerintah mengambil alih tanggungjawab penjaminan mutu pendidikan tinggi dan lebih melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini untuk menghindari institusi pendidikan tinggi yang beroperasi di bawah standar dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi dan kualifikasi yang tidak jelas. Akan tetapi melalui berbagai diskusi yang mendalam oleh berbagai pihak, akhirnya diputuskan penjaminan mutu pendidikan tinggi tetap dilakukan oleh asosiasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan tinggi yang merupakan non-governmental organization.
Pada tahun 1960-an terjadi perubahan situasi karena dana publik yang dialokasikan untuk institusi pendidikan tinggi melalui Departemen Pendidikan sangat besar. Pemerintah Federal merasa perlu untuk terlibat langsung di dalam akreditasi institusi pendidikan tinggi dalam rangka menentukan institusi pendidikan yang mana yang layak menerima dana publik. Akibatnya, ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian dan Asosiasi institusi yang berjumlah ribuan.
Akhirnya pada tahun 1968, dibentuklah Division of Accreditation and Institutional Eligibility pada US Office of Education yang berfungsi untuk memberikan pengakuan terhadap lembaga-lembaga akreditasi volunter yang berbasis dari asosiasi institusi dan asosiasi profesi.
Pada tahun 1979 dibentuklah Council on Postsecondary Accreditation (COPA) untuk menyatukan semua upaya-upaya akreditasi institusi pendidikan tinggi, baik oleh Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, maupun asosiasi profesi. COPA kemudian aktif melakukan riset-riset di bidang akreditasi pendidikan tinggi untuk mencari bentuk dan konsep yang paling tepat. Beberapa kesimpulannya adalah the police powers of government cannot be turned over to voluntary associations. Accreditation should be linked to eligibility for federal funding, and the process of accreditation should be insulated from the administrative process of the federal government. The federal government should rely, primarily and as appropriate, upon the review and evaluation of accrediting agencies carried out by the education community.
Artikel 4 :
Biaya Pendidikan Tinggi Makin Jauhi Orang Miskin
Sejauh ini pemerintah Jerman telah memberikan peluang berkesinambungan bagi warga masyarakat Indonesia untuk studi di negara itu, baik melalui pemberian beasiswa pemerintah Jerman (DAAD), beasiswa lembaga-lembaga non-pemerintah maupun biaya sendiri bagi yang mampu.
Namun dalam kenyataannya, Indonesia belum bisa memanfaatkan peluang yang ada, sehingga sistem pendidikan di Tanah Air masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan Jerman.
Hal itu dikemukakan dosen Jurusan Sosiologi Fisipol UGM, Dr Heru Nugroho SU, pada seminar ''Hubungan Persahabatan Indonesia-Jerman sebagai Usaha Peningkatan Kerja Sama dengan Masyarakat Uni Eropa dalam Perspektif Pendidikan dan Kebudayaan'' di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Sabtu (11/11).
Menurut Heru, dibandingkan dengan pendidikan di Singapura, Malaysia, Thailand, dan Philipina, bangsa ini masih sangat jauh tertinggal. Bantuan berapa pun terhadap Indonesia dalam bidang pendidikan, kalau tidak ada kemauan keras untuk berubah dari pihak Indonesia, tidak akan berguna.
Karena itu, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperbaiki sistem pendidikan, yaitu dengan meningkatkan anggaran pendidikan dan etos kerja akademik.
Selanjutnya, mewujudkan budaya akademik sehingga muncul universitas-universitas andal dan bertaraf internasional, serta mempromosikan orang-orang beprestasi di dunia akademik agar memperoleh penghargaan setimpal.
Kondisi pendidikan tinggi di Jerman saat ini sedang mengalami perubahan luar biasa apabila dibandingkan dengan zaman keemasan masa lalu. Semakin hari, pemerintah terus saja memangkas dana-dana untuk jaminan sosial, termasuk pendidikan tinggi. Dengan demikian, tidak ada lagi pendidikan gratis.
Sementara di Indonesia, biaya pendidikan tinggi terus saja menggelembung semakin menjauhi rakyat miskin dari keterjangkauannya. Pendidikan gratis tidak pernah ada. Namun pada masa Orba pendidikan tinggi mengambil kebijakan menarik biaya relatif sangat murah, sehingga lapisan orang miskin dapat mengaksesnya.

Artikel 5 :

Perilaku Belajar Mahasiswa di Indonesia
Belajar merupakan hak setiap orang, akan tetapi kegiatan belajar di suatu perguruan tinggi merupakan suatu hak istimewa karena hanya orang yang memenuhi syarat saja yang berhak belajar di lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Dengan pengakuan tersebut, harapan adalah bahwa seorang yang telah mengalami proses belajar secara formal akan mempunyai wawasan, pengetahuan, keterampilan, kepribadian dan perilaku tertentu sesuai dengan apa yang ingin dituju oleh lembaga pendidikan.
Tujuan lembaga tinggi pendidikan pada umumnya dikaitkan dengan tujuan pendidikan nasional. Yang perlu dicatat bahwa belajar merupakan kegiatan individual tertentu.
Suatu fakta angan-angan individual terhadap career plan merupakan gejala belajar seseorang di perguruan tinggi dan merupakan suatu kebutuhan (needs). Kebutuhan ini akhirnya menentukan sikap, perilaku dan pandangan belajar di perguruan tinggi yang merupakan suatu prospek penting dalam career plan seseorang dewasa ini.
Ada dua tujuan yang terlibat dan saling menunjang dalam proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Yang pertama adalah tujuan lembaga pendidikan dalam menyediakan sumber pengetahuan dan pengalaman belajar (knowledge and learning experience) yang kedua adalah tujuan individual mereka yang belajar (mahasiswa).
Proses belajar mengajar mestinya harus mampu menyelaraskan tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan dan bahkan tujuan pendidikan nasional. Dua hal di atas kadang-kadang tidak disadari benar baik oleh penyelenggara pendidikan maupun oleh mahasiswa.

Kegiatan belajar hampir tidak ada bedanya dengan kegiatan mengajar dalam suatu kursus atau pendidikan keterampilan. Masalahnya sekarang adalah apakah tujuan individual seseorang memasuki perguruan tinggi? Hal ini yang acap kali diidentifikasi atau dirumuskan dengan jelas oleh mereka yang memutuskan untuk belajar di perguruan tinggi.

Gejala yang sering dirasakan di Indonesia adalah belajar di perguruan tinggi lebih merupakan kebutuhan sosial orang lain (misalnya orang tua), akibatnya, belajar dianggap sebagai suatu beban dan penderitaan.

Apakah tujuan yang ingin dicapai melalui belajar-mengajar yang disebut kuliah. Kuliah merupakan bentuk interaksi antara dosen, mahasiswa dan pengetahuan. Pemahaman dan persepsi mengenai hubungan ketiga faktor tersebut sangat menentukan keberhasilan proses belajar.

Perilaku Belajar
Bisa dikatakan mahasiswa Indonesia menganggap kuliah merupakan sumber pengatahuan utama, bahkan satu-satunya, sehingga catatan kuliah merupakan jimat yang ampuh dan dosen merupakan dewa pengetahuan.

Lingkungan belajar seperti ini menempatkan dosen menjadi seperti tukang sulap yang kelihatan pintar tetapi hanya karena mengetahui muslihat-muslihat (tricks) yang sengaja disembunyikannya dan kemudian menjual pengetahuan tersebut melalui loket kuliah.

Kebanyakan mahasiswa di Indonesia memperoleh pengetahuan sedikit demi sedikit seperti membeli kue dari sebuah warung. Kekeliruan persepsi ini bukan semata-mata kesalahan mahasiswa, persepsi tersebut dapat timbul justru dari sikap dosen yang secara tidak sadar telah menciptakan kondisi demikian.

Akibatnya, mahasiswa kebanyakan mempunyai perilaku untuk hanya datang, duduk,dengar dan catat [D3C]. Catatan kuliah dianggap sumber pengetahuan dan bahkan kalau perlu mahasiswa tidak usah datang ke kuliah tetapi cukup dengan mengkopi saja catatan mahasiswa yang lain.

Karena pendekatan pengendalian proses belajar-mengajar di kelas yang kurang mendukung, banyak mahasiswa yang merasa nyaman menjadi "mesin dengar kopi". Kalau tujuan individual akan dicapai secara efektif, arti kuliah harus diredifinisi dan dilaksanakan secara konsekuen.

Mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Dengan konsep ini, pengetahuan merupakan barang bebas, walaupun diperlukan biaya untuk memperolehnya. Dosen berbeda dengan mahasiswa karena wawasan dan pengalaman-pengalaman berharga yang dimilikinya yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.

Wawasan dan pengalaman dosen diperoleh karena mereka telah mengalami proses belajar serta pergaulannya dengan para praktisi atau karena riset serta penelitian yang dilaksanakan. Dengan demikian, kuliah harus diartikan sebagai forum untuk mengkonfirmasikan pemahaman mahasiswa terhadap pengetahuan yang bebas tersebut.

Fakta yang tidak dapat dihindari adalah bahwa waktu kuliah (tatap muka) adalah sangat pendek dan terbatas. Di pihak lain, cukupan materi kedalaman pemahaman tidak dapat diberikan secara seketika dalam waktu pendek tersebut.
Masalahnya adalah, apakah yang harus dikerjakan dalam waktu yang sangat pendek dan terbatas tersebut ? Kalau kuliah diisi dengan kegiatan yang sebenarnya mahasiswa dapat melakukannya sendiri di luar jam temu kelas.
Maka kelas tersebut sama sekali tidak mempunyai nilai tambah. Tidak terjadi proses belajar yang sesungguhnya, yang terjadi adalah pengalihan catatan dosen ke catatan kuliah mahasiswa melalui proses "mesin dengar kopi", sebuah proses yang bahkan jauh lebih primitif dibandingkan dengan fotokopi.
Keefektifan temu kelas dalam menunjang proses belajar sangat bergantung pada pemahaman konsepsi dosen dan mahasiswa terhadap arti temu kelas. Kesenjangan pengertian dapat menimbulkan frustasi di kedua belah pihak.
Adakah fakta merupakan education culture di Indonesia? Sulit untuk mendeteksi mengapa ini sampai terjadi dan terus dilestarikan. Kemungkinan yang sangat logis adalah kurangnya kesiapan lembaga pendidikan, dosen dan mahasiswa untuk terus memberdayakan diri melalui bacaan, kuliah konvensional, sehingga terlihat tidak ada upaya dan usaha dalam self improvement.
Faktor lain terbatasnya sarana dan prasarana (buku, artikel, komputer) yang tersedia untuk bisa akses dalam pemberdayaan dan pengembangan diri. Situasi ini membuat kita berada pada disadvantaged position.
Untuk membenahi kesenjangan ini perlu bagi kita agar berlaku arif bahwa mahasiswa dan dosen mempunyai kedudukan yang sama dalam akses terhadap pengetahuan. Sudah saatnya sekarang kita bersama-sama mengartikan proses belajar merupakan kegiatan untuk memperkuat pemahaman mahasiswa terhadap materi pengetahuan sebagai hasil kegiatan belajar mendiri. Agar image dosen tukang sulap, mahasiswa yang telah terlanjur menjadi "mesin dengar kopi" dapat ditingkatkan menjadi proses belajar mandiri, komunikatif, dinamis dan inovatif.