Sabtu, 23 Mei 2009

PENDIDIKAN TINGGI 3

PENDIDIKAN TINGGI 3

Artikel 1 :
Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh [[perguruan tinggi Mata pelajaran pada perguruan tinggi merupakan penjurusan dari SMA, akan tetapi semestinya tidak boleh terlepas dari pelajaran SMA
Artikel 2 :
NENO WARISMAN SINDIR MAHALNYA PENDIDIKAN
Artis kenamaan Hj Neno Warisman menyindir mahalnya pendidikan tinggi, saat membacakan puisi "Afala Ta`qilun" dalam "Halal Bi Halal" Keluarga Besar ITS Surabaya, kemarin (16-12-2007 - red).
"Isu pendidikan selalu laris dijual para calon presiden, tapi anak-anak marjinal tetap kesulitan. Karena biaya pendidikan tinggi semakin tak terjangkau," katanya dalam salah satu bait puisinya.
Puisi religi yang dibaca dengan penuh penghayatan itu, juga menyentil makna "Halal Bi Halal" yang sering disalahgunakan para pejabat.
"Tak hilang rasa marahku dengan `Open House` (Halal Bi Halal), sampai (kesejahteraan) rakyat terjamin. Apalagi `Open House` mereka itu dibiayai rakyat miskin," katanya.
Di hadapan rektor ITS, Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD dan guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Ahmad Satori Ismail selaku penceramah, artis kelahiran Banyuwangi, Jatim itu pun menyindir mahasiswa.
"Saya bertanya kepada mahasiswa dari universitas-universitas ternama tentang siapakah ibu pertiwi," kata mantan pelantun tembang "Nada Kasih" bersama Fariz RM itu.
Tapi, katanya, jawaban para mahasiswa dari universitas-universitas andalan itu umumnya menyamakan ibu pertiwi dengan bangsa, negara, dan Tanah Air.
"Padahal, ibu pertiwi adalah rakyat, rakyat miskin, bukan negara, bangsa, atau Tanah Air. Rakyat miskin yang selama ini tak menikmati kemerdekaan dan pembangunan," katanya menegaskan.
Dalam puisi panjang dalam kurun 20 menit itu, Neno juga mengajak para hadirin untuk merenungkan pentingnya memanfaatkan ilmu untuk kemaslahatan bangsa.
"Alangkah luhurnya bila ilmu yang telah kita serap selama belajar di sebuah universitas (apalagi ternama) bisa membantu kesejahteraan masyarakat banyak. Tak akan sia-sia ilmu itu akhirnya," katanya memaparkan.
Artikel 3 :
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi sangat berbeda dengan di Inggris. Pendiri Republik Amerika Serikat sangat membatasi kekuasaan pemerintah di dalam meregulasi pendidikan tinggi yang dilandasi pada kekhawatiran timbulnya regulasi yang tersentralisir oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu di dalam UU Republik Amerika Serikat, institusi sosial yang berbasis sukarela (voluntary associations) memainkan peran cukup kuat di dalam regulasi berbagai urusan masyarakat, termasuk pendidikan tinggi.
Perkembangan sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi di AS dimulai pada permulaan tahun 1780-an ketika the University State of New York diberi wewenang oleh Negara Bagiannya untuk mereview akademi-akademi yang ada di wilayahnya, khususnya meregistrasi kurikulum yang digunakan oleh setiap institusi pendidikan tinggi. Negara bagian lain ikut mengadopsi cara ini, misalnya Iowa pada tahun 1846, Washington pada tahun 1909, Virginia pada tahun 1912 dan Maryland pada tahun 1914.

Pada tahun 1847, American Medical Association merupakan asosiasi profesi pertama yang melakukan penilaian mutu pendidikan dokter secara sukarela. Akan tetapi, membutuhkan waktu hampir 60 tahun, untuk akhirnya semua fakultas kedokteran bersedia dinilai mutunya secara eksternal dan melakukan perbaikan sesuai rekomendasi.
Pada awal abad 20, menjamurlah berbagai asosiasi institusi pendidikan dari berbagai bidang yang berjumlah 602. Pada tahun 1930, North Central Association mengadopsi prinsip akreditasi yang lebih sederhana dan menggabungkan beberapa asosiasi institusi pendidikan untuk melakukan akreditasi.
Pada tahun 1930, ada dorongan yang kuat agar Pemerintah mengambil alih tanggungjawab penjaminan mutu pendidikan tinggi dan lebih melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini untuk menghindari institusi pendidikan tinggi yang beroperasi di bawah standar dan menghasilkan lulusan dengan kompetensi dan kualifikasi yang tidak jelas. Akan tetapi melalui berbagai diskusi yang mendalam oleh berbagai pihak, akhirnya diputuskan penjaminan mutu pendidikan tinggi tetap dilakukan oleh asosiasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan tinggi yang merupakan non-governmental organization.
Pada tahun 1960-an terjadi perubahan situasi karena dana publik yang dialokasikan untuk institusi pendidikan tinggi melalui Departemen Pendidikan sangat besar. Pemerintah Federal merasa perlu untuk terlibat langsung di dalam akreditasi institusi pendidikan tinggi dalam rangka menentukan institusi pendidikan yang mana yang layak menerima dana publik. Akibatnya, ada tiga pihak yang terlibat, yaitu Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian dan Asosiasi institusi yang berjumlah ribuan.
Akhirnya pada tahun 1968, dibentuklah Division of Accreditation and Institutional Eligibility pada US Office of Education yang berfungsi untuk memberikan pengakuan terhadap lembaga-lembaga akreditasi volunter yang berbasis dari asosiasi institusi dan asosiasi profesi.
Pada tahun 1979 dibentuklah Council on Postsecondary Accreditation (COPA) untuk menyatukan semua upaya-upaya akreditasi institusi pendidikan tinggi, baik oleh Pemerintah Federal, Pemerintah Negara Bagian, maupun asosiasi profesi. COPA kemudian aktif melakukan riset-riset di bidang akreditasi pendidikan tinggi untuk mencari bentuk dan konsep yang paling tepat. Beberapa kesimpulannya adalah the police powers of government cannot be turned over to voluntary associations. Accreditation should be linked to eligibility for federal funding, and the process of accreditation should be insulated from the administrative process of the federal government. The federal government should rely, primarily and as appropriate, upon the review and evaluation of accrediting agencies carried out by the education community.
Artikel 4:
Pendidikan Tinggi di Tiongkok
Pendidikan tinggi Tiongkok terbagi dalam program sarjana muda, sarjana, S2 dan S3. Jenis universitas dan perguruan tinggi Tiongkok meliputi univeritas dan perguruan tinggi biasa, perguruan tinggi profesional,Universitas radio dan televesi, dan perguruan tinggi orang dewasa.
Pendidikan tinggi Tiongkok sudah bersejarah 100 tahun lebih. Menurut statistik terbaru, dewasa ini di Tiongkok terdapat 3000 perguruan tinggi, diantaranya 2/3 dikelola negara, 1/3 dikelola swasta. Siswa perguruan tinggi tercatat 20 juta orang, tingkat masuk perguruan tinggi dari jumlah penduduk sebaya mencapai 70% ke atas.
Di Tiongkok, masuk perguruan tinggi harus lewat ujian, sekolah menerima siswa berdasarkan keinginan siswa sendiri dan hasil ujian. Persoalan ujian masuk sekolah dan angka penerimaannya ditetapkan secara tunggal oleh Kementerian Pendidikan atau Lembaga Pendidikan di berbagai propinsi.
Pendidikan tinggi Tiongkok terutama diselenggarakan oleh perguruan tinggi negeri, universitas yang terkenal di Tiongkok semua diselenggarakan negara, biasanya mereka yang gagal masuk perguruan tinggi negeri, berkuliah dinas baru memilih masuk perguruan tinggi swasta atau universitas radio dan televesi , atau perguruan tinggi orang dewasa.
Selama dua tahun ini, lembaga pendidikan Tiongkok berupaya mengembangkan pendidikan tinggi, secara besar-besaran memperluas skala penerimaan siswa untuk perguruan tinggi negeri, pendidikan sarjana dua juga mencapai perkembangan besar.
Artikel 5 :
Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi
Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.
Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.
Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.
Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.
Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.
Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.