1. Beralihnya SMU ke SMK di Kota Malang
Bidang pendidikan sangatlah penting dan harus diperhatikan, karena berdampak pada bidang-bidang yang lain. Masalah kependidikan yang serius dihadapi oleh negara berkembang khususnya yang dihadapi oleh Indonesia, antara lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Dengan melihat masalah yang terakhir yaitu, lapangan pekerjaan memiliki greget yang lain. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.
Pada masyarakat yang tengah berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan, adalah mendapatkan lapangan kerja yang diaharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai gengsi atau nilai yang lebih tinggi di banding sektor informal.
Dengan demikian, keterbatasan lapangan pekerjaan dapat menyebabkan tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan kerja, secara linear berpotensi terhadap anggapan masyarakat terhadap dunia pendidikan. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan.
Lapangan pekerjaan merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Maka merebaknya isu pengangguran terdidik menjadi sinyal yang cukup mengganggu bagi perencana pendidikan di negara-negara berkembang pada umumnya, khususnya juga di Indonesia.
Secara empiris telah terjadi kekurang-sepadanan antara Supply dan Demand keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan kebutuhan dan penyediaan tenaga kerja, dimana hasil dari profil lulusan merupakan akibat langsung dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan masyarakat secara utuh.
Saat ini pemerintah juga mempunyai program dalam dunia pendidikan, yaitu untuk SMK sebanyak 70% dan 30% untuk SMU. Perubahan jumlah sekolahan ini terpicu data yang diperoleh di lapangan bahwa pengangguran produktif kebanyakan adalah lulusan SMU. Pada dasarnya SMU diprogram untuk mereka yang melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, sedangkan pembekalan skill (untuk SMU) bisa dikatakan, tidak ada. Berbeda dengan dunia SMK, mereka dituntut untuk menguasai skill serta diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
SMK dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dari segi keterampilan kerja, maka dari itu saat ini banyak perusahaan yang membutuhkan lulusan dari SMK. Dinas Pendidikan telah menganjurkan untuk lebih memilih SMK karena lebih menjanjikan dalam dunia kerja. Dimasukkannya anak-anak ke sekolahan kejuruan adalah agar siswa cepat mendapat pekerjaan selepas lulus, dengan bekal keterampilan yang didapat dari sekolahan. Jadi, sebetulnya, sekolah kejuruan juga berperan aktif dalam pengentasan kemiskinan yang ada di masyarakat, dengan pembekalan keterampilan serta mempersiapkan siswa untuk dapat mandiri.
Semakin banyaknya siswa yang belajar di sekolah kejuruan, semakin dapat ditekan pula angka kemiskinan yang ada di masyarakat. Harapan semua pihak, terutama dunia pendidikan dan pemerintah adalah siswa yang telah lulus dapat berwirausaha, sehingga angka pengangguran dapat ditekan. Berkurangnya angka penganguran, maka secara otomatis pendapatan masyarakat pun meningkat. Lebih lebar lagi, dunia kriminalitas juga dapat ditekan.
Karena, pendidikan juga sebagai salah satu faktor penekan angka kemiskinan, maka mari kita bersama-sama memajukan dunia pendidikan di negara ini, baik masyarakat, pemerintah dan swasta. Tanpa bersama-sama, dunia pendidikan kita akan semakin ketinggalan dengan negara-negara lain.
Rencana akan diperbanyaknya lulusan SMK dibanding SMU di Indonesia dan adanya pengalihan sebagian SMU ke SMK di Malang, ternyata itu merupakan ide bagus. Kenapa merupakan ide bagus, karena pada kenyataannya lulusan SMK itu lebih siap bekerja dibandingkan dengan lulusan SMU. Pendidikan yang digunakan di SMK lebih banyak menerapkan praktek serta mengandalkan keterampilan dan mempunyai banyak jurusannya yang bisa dipilih sesuai minat dan bakat keterampilan yang dimiliki. SMK itu juga bagus kok gak kalah bagusnya dengan SMU.
Di Kota Malang terdapat SMU yang beralih menjadi SMK, yaitu SMU menjadi SMK. Beralihnya SMU ke SMK di Malang karena tuntutan dari masyarakat yang menginginkan putra-putrinya memiliki keterampilan kerja dan masa depan yang lebih menjanjikan dan dapat meringankan beban orang tua. Memang biaya yang dikeluarkan untuk masuk di SMK lebih mahal karena biaya praktek dan keterampilannya. Tetapi para orangtua memahami mahalnya biaya tersebut, karena putra-putri mereka akan mempunyai kelebihan baik dalam segi skill atau memiliki kemampuan untuk berwirausaha. Selain itu mereka juga bisa sambil meneruskan kuliah pada waktu bekerja nanti. Tidak jarang banyak perusahaan yang membutuhkan lulusan SMK dibanding lulusan SMU. Dan jika memilih SMK harus memilih SMK yang sudah dipercaya dan berkualitas, serta mempunyai banyak hubungan kerjasama dengan beberapa perusahaan dan instansi lain.
Diharapkan bagi lulusan SMP agar lebih selektif dalam memilih sekolah lanjutan terutama SMK, agar mereka memiliki keterampilan kerja dan lebih bermanfaat untuk kehidupan kedepan. Dan jika memilih SMK harus memilih SMK yang sudah dipercaya dan berkualitas, serta mempunyai banyak hubungan kerjasama dengan beberapa perusahaan dan instansi lain. Serta diharapkan pula pemerintah dapat mengembangkan lagi kurikulum untuk SMK, sehingga nantinya lulusan SMK dapat lebih berkualitas.
2. Rasional SMA/MA Mencetak Pengangguran
Ada fenomena menarik yang terjadi selama ini bahwa, tujuan lembaga Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) mempersiapkan siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seringkali kurang tepat sasaran. Hal ini terbukti, berdasarkan data hasil Kajian kami, terhadap cita-cita siswa-siswi kelas I dan II (kelas X dan XI) di salah satu SMA Negeri di kabupaten Lombok Timur NTB, yaitu SMA negeri 1 kecamatan Terara pada tahun pembelajaran 2005-2006 menunjukkan bahwa dari 334 siswa kelas 1 dan 2 hanya 121 orang atau 36 % saja yang bercita-cita untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. 64 % sisanya tidak mempunyai cita-cita untuk melanjutkan ke perguruan tinggi dengan berbagai alasan.
Dan dari 64 % tersebut 91 orang (sekitar 28 %) yang bercita-cita untuk langsung bekerja, 71 orang (sekitar 22 %) bercita-cita untuk mengikuti kursus dan 51 orang (16 %) belum punya cita-cita sama sekali.
Besarnya angka yang tidak berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di SMA ini, jika tidak diberikan bekal keterampilan untuk hidup, melalui proses pendidikan di sekolah maka, berpotensi menjadi penganguran. Dan angka ini akan mungkin semakin besar manakala 36 % tersebut masih ada yang tidak mampu terjaring masuk ke dalam perguruan tinggi yang diinginkan.
Data tersebut juga menunjukkan banyaknya calon siswa yang masuk ke SMA/ MA tidak memahami tujuan lembaga pendidikan tersebut. Oleh karena itu menjadi kewajiban Sekolah/Madarash untuk melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang orientasi lembaga pendidikannya kepada calon siswa baru.
Dan fakta tersebut di atas dapat menjadi bahan pertimbangan bagi sekolah untuk lebih selektif menerima calon siswa baru. Minat siswa untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi seharusnya dapat menjadi prasyarat calon siswa baru yang masuk ke SMA/MA.
Di samping itu Sekolah mestinya masih tetap memiliki rasa tanggungjawab terhadap outcome, sehingga dalam penerimaan siswa baru tidak hanya melihat jumlahnya yang diterima dari aspek uang yang masuk, serta jangan melihat calon siswa baru seperti melihat lembaran kertas merah ratusan ribu rupiah. Tetapi hendaknya dilihat sebagai beban tanggung jawab pembinaan yang lebih besar untuk mengantarkannya sampai mencapai keberhasilan sesuai dengan yang dicita-citakan.
Pilihan yang tepat bagi 64 % siswa tersebut sebenarnya adalah jenis pendidikan kejuruan (SMK/MAK) dan bukan pada jenis SMA/MA. Akan tetapi kenyataanya jumlah SMK/MAK terlalu sedikit dibanding SMA/MA. Di samping itu SMK/MAK yang ada di NTB khususnya, masih belum mampu membangun kepercayaan kepada masyarakat soal konpetensi lulusannya (output dan outcome). Hal ini disebabkan karena di samping keterbatasan fasilitas/sarana prasarana, juga terbatasnya tenaga guru yang berkualifikasi lulusan guru SMK baik dari segi jumlah maupun mutu. Sehingga terjadi sangat sedikit peminat calon siswa baru masuk ke SMKN Keruak untuk tahun pembela-jaran 2005/2006 ini
Karena itu menjadi sangat dilematis bagi para lulusan SMP/MTS (calon siswa SLTA) dalam memilih sekolah sebagai tempat membina potensi dalam rangka mencapai cita-cita. Pada akhirnya para calon siswa banyak menyerbu SMA/MA meskipun harus membayar uang pendaftaran dan "uang komite" sampai berjumlah jutaan rupian, hanya untuk menjadi calon pengangguran.
Namun demikian ada kecenderungan di SMA yang tergolong "bermutu" (dilihat dari hasil seleksi siswa Baru tahun Pembelajaran 2005-2006 yang lalu dengan standar nem terendah yang diterima di atas 21) seperti SMAN 1 Selong, SMA Negeri Masbagik dan SMAN 1 Aikmel (semuanya berada di daerah kabupaten Lombok Timur) akan terjadi sebaliknya yakni, jumlah siswa yang bekeinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi akan lebih besar dibanding yang tidak. Seperti yang terjadi dengan SMA Negeri Masbagik, dari 556 siswa yang terdaftar di SMA tersebut 470 orang (85 %) bercita-cita melanjutkan ke pendidikan tinggi, 86 orang lainnya (15 %) tidak bercita-cita untuk melanjutkan.
Akan tetapi angka 15 % masih cukup tinggi mengingat kurikulum & Proses Belajar Mengajar di SMA/MA diarahkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dan jumlah siswa yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi diperkirakan jauh lebih tinggi, mencapai + 70 %, dari akumulasi seluruh siswa SMA/MA yang ada di Lombok Timur-NTB, karena sebagian terbesar sekolah terutama Madrasah Aliyah di daerah tersebut mutunya lebih rendah dari sekolah yang disebut di atas. Dan jumlah ini sangat berpotensi menjadi pengangguran. Hal ini berarti, dari 5000 orang siswa lulusan SMA/MA setiap tahun yang ada di daerah tersebut, ada sekitar 1500 orang yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi dan + 3.500 orang sisanya berpotensi menjadi pengangguran.
Angka pengangguran berarti tingkat produktifitas sangat rendah, angka ketergantungan (dependensi rasio) sangat tinggi, dan bahkan merupakan gangguan keseimbangan mental yang cenderung bersifat destruktif. Hilangnya potensi ini dan sifat merusak merupakan kerugian yang harus dibayar oleh pembangunan. Semoga pemerintah melihat dan menyadari hal ini.
3. CITRA SEKOLAH KEJURUAN DAN MAN SEBAGAI SEKOLAH KELAS DUA
Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK.
SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak- anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid- muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai "anak emas" dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang- orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini (?).
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter "withdrawal" atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama "SMK, MAN dan SMA'. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana- mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan Man cenderung sepi atau biasa- biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA, SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat (?).
Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak- anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biar lah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja - menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI (?).
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak- anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak- anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang- ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang orang yang kultur dan percaya diri nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan , mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.
Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum(?). keberadaan tenaga pendidik agaknya tidak lah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan- rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistic atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara- gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA- seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput .Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa Cuma.
Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka Man dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain- masyarakat, pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa "Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini". Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini- guru, murid, orang tua dan lingkungan.
Sekolah ini perlu melakukan publikasi , melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak- kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. pintar dengan angka- angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan tekhnologi- serta iman dan taqwa).
4. Fenomena SMA dan SMK di Abad 21
Sebuah tantangan besar bagi pemimpin dan pemikir negeri ini, ketika menghadapi jumlah pengangguran yang semakin bertambah tidak sepadan dengan daya serap lapangan kerja yang ada. Dunia usaha dan industri agak lesu dalam mengembangkan usahanya.
Keterampilan angkatan kerja yang masih kurang memenuhi syarat kerja yang dibutuhkan pasar tenaga kerja, baik dalam maupun luar negeri. Hal ini tentu menambah pusing bagi pemerintah, yang selalu disorot oleh masyarakat dari sektor penyediaan lapangan kerja, bagi angkatan kerja yang siap memasuki usia kerja. Tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu dan relevan dengan tuntutan Negara yang sedang membangun, dan rindu akan keadilan dan kesejahteraan. Menambah beban pemikiran bagi pemimpin negeri ini.
Dalam tahapan ini, Indonesia masih dalam tahap membangun, yang sedang berupaya keras dan cerdas untuk mempersiapkan generasi penerus perjuangan bangsa yang beriman, bertaqwa, cerdas, tangguh, disiplin dan mampu menghadapi tantangan masa depan yang lebih baik, bersaing dengan dunia luar, serta berjiwa patriotik.
Departemen Pendidikan dan kebudayaan telah berusaha dengan sekuat tenaga dengan minimnya anggaran pendidikan yang masih jauh dari kebutuhan yang sebenarnya, berbagai eksperimen dan riset dilakukan. Dalam catatan Departemen tahun 1970 berkembang pesat tenaga kerja yang sekelas tukang, bukan pemikir. Mengakibatkan negeri ini membutuhkan pemikir bukan tukang, yang pada akhirnya sekolah menengah yang kala itu identik dengan lembaga pencetak tukang kurang dikembangkan, dan sekolah umum seperti SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), yang dianggapnya kurang memberikan masa depan yang lebih baik dibandingkan sekolah menengah pertama kejuruan pun mulai tereleminir menjadi sekolah menengah pertama (SMA)/Umum.
Bahkan hingga sekarang penambahan unit gedung baru SMK hampir tidak pernah terdengar, satu kabupaten paling banyak 2 SMK negeri yang ada, namun dalam kabupaten yang sama bisa berdiri 4 sampai 5 SMA negeri. Bahkan satu kecamatan kadang samapai 2 hingga 4 SMA Negeri. Dampak dari itu semua kini mulai terasa lulusan sekolah umum yang tadinya dianggap dapat lebih memberikan masa depan yang lebih berubah menjadi faktor penambah jumlah pengangguran yang kurang memiliki kemampuan pemikir apalagi Tukang.
Dengan munculnya dikotomi SMK dan SMK (Umum), maka banyak masyarakat diperbagai perguruan tinggipun memberikan kesempatan belajar yang berbeda antara lulusan SMK dan lulusan SMA. Bagi mereka lulusan SMA lebih luas untuk mendapatkan kesempatan belajar di berbagai Fakultas, sedang yang berasal dari SMK mempunyai pilihan yang lebih sempit. Padahal belum pernah ada sebuah tesis yang dapat dipakai sebagai rujukan yang valid, bahwa lulusan SMK mempunyai tingkat pemikiran yang lebih rendah.
Dengan adanya faham bahwa ada tukang dan ada pemikir, tukang berada pada golongan strata pekerja kelas rendahan dan pemikir berada di menara gading yang penuh dengan kehormatan dan kemewahan, namun yang sebenarnya SMA pun akhirnya menghasilkan tukang yang bukan pemikir dan pimikir yang bukan tukang. Tukang dan pemikir merupakan dua bagian yang berbeda, padahal pada kenyataannya seorang pemikir harus dituntut mampu untuk menyelesaikan sendiri permasalahan-permasalahan secara riil dan detail mulai dari pekerjaan tukang hingga imaginasi yang selalu berkembang. Tukang pun harus pula mempunyai kreativitas yang tinggi sehingga mampu pula untuk berimagiansi tinggi dalam mengembangkan inovasi kerja yang lebih baik.
Komposisi pendidikan yang tertuang dalam kurikulum pendidikan kita, hasil olahan dari pemikir, yang membuat sebuah perencanaan pendidikan nasional, seakan-akan dianggap mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Namun dibalik itu semua sering berbenturan antara hasil pemikiran para ahli di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan pelaksana pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Diyakini atau tidak, ini merupakan produk lama yaitu tukang dan pemikir. Pengambil kebijakan sebagai pemikir dan Steak Holder sekolah sebagai tukang.
Sehingga setiap ada perubahan kebijakan pemerintah sekolah seakan dipaksa untuk mengikuti, terlepas dengan siap atau tidaknya sarana dan prasarana sekolah. Akibatnya program dilaksanakan dengan setengah hati dan setengah kurang sarana dan prasana, hasil didik pun menjadikan siswa sebagai pemimpi di siang bolong. Transfer ilmu dari mengajar ke belajar hanya sebuah patamorgana belaka, ilmu tidak lagi diukur dengan kompetisi yang dikembangkan melainkan angka dalam kertas yang bernama raport atau ijazah menjadi ukuran dan tujuan akhirnya.
Dari itu semua akhirnya tahun 2004 pendidikan diarahkan ke perkembangan life skill, naik di SMA maupun SMK, namun pada tataran kurikulum, hal ini menjadi kamus wajib, tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan sebagai mana harapan. Terbukti dengan amraknya bimbingan belajar, baik dis ekolah maupun lembaga-lembaga bimbingan belajar yang mulai bermunculan bak jamur dimusim hujan. Apa yang dilakukan bimbingan ini hanya berlatih mengerjakan soal dan mengantisipasi soal soal Ujian Nasional yang mungkin akan muncul dalam UN.
Bukan pada pemhaman ilmu dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari,Patokan Nilai Ujian menjadi tujuan akhir dari sebuah pembelajaran. Hal ini berlaku baik di SMK maupun di SMA.
Sangatlah wajar kalau sekarang banyak anggapan bahwa hasil lulusan SMA dan SMK bahkan sarjana sekalipun masih mempunyai mutu akademis yang rendah.
Pola 50% teori dan 50% praktik tidak mampu di jalani oleh sekolah, karena sarana dan prasarana yang menjadi prasarat tercapainya hasil lulusan yang diharapkan, tidak dimiliki oleh sekolah serta padatnya muatan materi pokok yang harus dipelajari siswa, tidak sebanding dengan kemampuan kognitif dasar yang dimiliki oleh siswa pada umumnya sebagai prasarat belajar.
Menurut hemat saya manakala sarana dan prasarana pendidikan dan guru yang profesional sudah mampu disediakan oleh lembaga pendidikan, maka SMK atau SMA tidak lagi menjadi permasalahan seperti sekarang ini. Taksonomi Bloom yang pada hakekatnya pendidikan dititik beratkn pada sikap dan nilai, kecerdasan dan keterampilan. Akan dapat diwujudkan, sehingga permasalahan pengangguran mampu dikurangi, serta mampu lulusan sekolah menengah mampu memenuhi prasyarat kerja, yang dibutuhkan oleh pasar tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri.
Guru yang terbaik adalah pengalaman yang pernah dilakukan. Dan kerugian yang paling besar adalah kesalahan yang terulang. Dengan berpikir demikian harapan kami, pemerintah akan mampu menemukan pola pendidikan yang cocok dan relevan dengan kebutuhan maa mendatang. Tentunya penentu kebijakan negeri ini haruslah Pemikir yang tukang atau Tukang yang pemikir. Bukan lagi pemikir yang bukan tukang sehingga hanya mampu berpikir serta kebijakannya tak dapat dilaksanakan di tingkat sekolah.
Atau sebaliknya kebijakan tukang, yang juga tidak akan mampu menjawab tantangan masa depan, melainkan hanya mampu mereparasi sesaat saja yang pada akhirnya rusak fatal tak mampu lagi diperbaiki.
Harapan kami, sebaliknya penanggungjawab pelaksanaan pendidikan, hanya ada pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tidak seperti sekarang hampir setiap departemen memiliki lembaga pendidikan sendiri-sendiri dengan standard yang berbeda-beda,s ekalipun dibutuhkan prasyarat tertentu, sebaiknya cukup Pelatihan khusus (spesialis) yang spesifik saja. Agar tidak terjadi pembinaan yang berbeda seperti MTs. Dan SMP atau MA dan SMA, SMK yang rasa-rasanya sangat ebrbeda. Baik dari kesejateraan maupun proses rekietmentnya. Padahal mutu pendidikan yang diharapkan sama.
Pada akhirnya hanya tenaga profesional-lah yang mampu membentuk dan menciptakan sebuah rencana yangs esuai dengan harapan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia dan mampu merencanakan sebuah strategi menghadapi perkembangan dunia.
5. SMK, Jembatan Sekolah dan Dunia Kerja
Sudah hampir satu dasawarsa memasuki abad ke-21, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan untuk menyusun dan merumuskan konsep kebijakan dan strategi yang solid dalam upaya mencerdaskan dan menyejahterakan warganya. Masih buruknya mutu pendidikan pada hampir semua jenis dan tingkatan pendidikan semakin menegaskan sinyalemen di muka. Semakin meningkatnya angka pengangguran anak-anak usia produktif yang diakibatkan dari rendahnya kemampuan dasar, keterampilan, dan keahlian menjadi cermin nyata bahwa bangsa ini masih menghadapi persoalan besar dalam bidang pendidikan.
Di lain pihak, kita selalu disuguhkan dengan berbagai prestasi beberapa siswa (few geniuses) pada berbagai perlombaan tingkat nasional dan internasional. Dari sejumlah prestasi itu, sayangnya pemerintah masih belum berhasil mengimbaskannya kepada siswa-siswa lain, baik secara masif maupun sistemis. Dengan bahasa lain, dapat dikatakan hasil yang diperoleh beberapa siswa dari mengikuti berbagai ajang perlombaan bergengsi dan dengan biaya yang sangat mahal itu ternyata belum mampu membawa perubahan terhadap capaian belajar siswa (student attainment) secara umum. Seharusnya partisipasi dalam perlombaan itu dapat dijadikan bagian dari upaya pemerintah untuk membangun sistem pendidikan yang lebih bermutu dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah belum mampu menjadikan capaian pada berbagai ajang lomba itu untuk membangun dan meningkatkan motivasi belajar, menanamkan semangat dan daya juang (risk-taking) serta ketekunan (resilience) di kalangan siswa lainnya, sebaliknya pemerintah hanya berhenti pada kepuasan sesaat.
Harus diakui sistem pendidikan yang dibangun sejauh ini belum banyak berperan dalam membantu menyelesaikan persoalan bangsa. Secara umum, lulusan pendidikan menengah masih belum dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat masuk pasar kerja (workplace), yang kondisinya sudah semakin terintegrasi dengan pasar global sehingga sangat kompetitif. Karena itu, upaya Depdiknas untuk kembali menggalakkan program pendidikan linking school and work melalui konsolidasi, intensifikasi, diversifikasi, dan ekspansi program pendidikan keterampilan (vocational skills) pada jenjang pendidikan menengah (SMK) patut untuk diapresiasi dan didukung. Namun, dukungan yang diberikan harus dalam semangat untuk menumbuhkan kemandirian, tanggung jawab, kejujuran, dan memperkuat kemampuan dasar serta keterampilan teknis pada siswa sehingga mereka mampu menjawab tuntutan dunia kerja modern.
Kondisi SMK
Depdiknas dalam dua tahun terakhir melakukan conditioning guna meyakinkan masyarakat terutama siswa lulusan SMP agar lebih berminat memilih pendidikan kejuruan dalam menempuh karier pendidikan lebih lanjut. Upaya pemerintah memasang iklan layanan masyarakat di beberapa media cetak dan elektronik itu cukup baik, tapi dinilai masih terkesan responsif dan kagetan (hiccup) sebab kebijakan itu belum didukung kajian komprehensif dan mendalam yang melibatkan sejumlah departemen dan institusi terkait. Sebut saja tak pernah dijelaskan di mana posisi departemen tenaga kerja, industri, pertanian, pariwisata, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga profesional lainnya dalam pengembangan sekolah menengah kejuruan tersebut.
Pada akhir 1980, PTN pernah mensyaratkan siswa lulusan sekolah kejuruan harus memiliki nilai rata-rata 7,0 untuk dapat mendaftar dan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. PTN harus menetapkan persyaratan yang berbeda dengan siswa lulusan sekolah menengah umum (SMA) untuk menunjukkan bahwa peluang keberhasilan siswa lulusan kejuruan pada ujian masuk PTN sangat kecil apabila nilainya lebih rendah daripada yang dipersyaratkan (7,0). Informasi lain yang mungkin perlu juga diperhatikan, dalam suatu seminar yang diselenggarakan Pusat Pengujian Balitbang Diknas pada akhir 1980, sejauh penulis masih dapat ingat, pernah diungkapkan masa tunggu lulusan SMK sebelum mendapatkan pekerjaan sedikit lebih panjang jika dibandingkan dengan lulusan SMA. Selanjutnya, dalam pekerjaan ternyata kemampuan belajar dan memahami instruksi siswa lulusan SMA lebih cepat jika dibandingkan dengan siswa lulusan SMK meskipun siswa lulusan SMK pada umumnya lebih baik dalam bidang keterampilan dan kemampuan teknis tertentu. Informasi itu tentunya perlu diuji ulang (diteliti kembali) mengingat perkembangan dan perubahan serta kemajuan manajemen pembelajaran SMK selama ini yang tentunya sudah banyak berubah dan meningkat lebih baik. Menurut Asram Jr pemuda lulusan SMK swasta, Banyak lulusan SMK saat ini masih mengalami kesulitan dan frustrasi untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahlian mereka. Pandangan yang menyebutkan usia mereka masih terlalu muda (immature) ditambah dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang belum memadai (inadequate knowledge and skills) sering menjadi kendala utama siswa lulusan SMK mendapatkan pekerjaan yang layak dan dapat mendukung karier dan kehidupan ke depan (future career path). Akibatnya, banyak lulusan kejuruan hanya mampu mendapatkan pekerjaan musiman dan tanpa kepastian kehidupan ekonomi (financial insecurity), jaminan sosial, dan kesehatan. Akibat selanjutnya, mereka akan kesulitan untuk berperan sebagai pribadi dewasa (responsible adults) yang mampu membangun dan membina kehidupan rumah tangga dan melakukan kewajiban kewarganegaraannya (civic duty) dengan naik.
Untuk mengatasi persoalan itu, Depdiknas seharusnya mulai melakukan berbagai kajian konsepsional dan empirik sehingga arah pengembangan (roadmap) sekolah kejuruan ke depan dapat menjadi lebih jelas dan terukur. Depdiknas seharusnya mengkaji dan merumuskan kembali kebijakan yang berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan sekolah kejuruan, mengidentifikasi dengan tepat berbagai keterampilan (vocational and thinking skills) yang sangat dibutuhkan dunia industri dan jasa pada abad ke-21 sekarang ini, revisited kurikulum dan implementasinya di lapangan guna menyesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan teori pembelajaran terkini. Selanjutnya, Depdiknas dapat lebih dahulu meneliti kecenderungan dan perkembangan industri nasional dan global termasuk benchmarking yang digunakan dan dapat membangun kemitraan strategis dengan sejumlah perusahaan dan lembaga profesi yang sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan mendasar baik berupa assessment, appraisal, ataupun feasibility studies tersebut mutlak diperlukan sebelum sebuah kebijakan dilaksanakan secara nasional.
Pembangunan sekolah kejuruan haruslah diarahkan pada kebutuhan kekinian. Dunia saat ini dilanda krisis pangan dan energi. Krisis itu dipandang akan berlangsung lama dan menyerang semua negara, baik kaya maupun miskin. Sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang melimpah, bangsa ini diharapkan dapat menyejahterakan rakyatnya dan menyumbang untuk kemakmuran masyarakat dunia. Untuk mewujudkan keinginan mulia di muka, Depdiknas harus cerdas dan cermat dalam menentukan pilihan pendidikan keterampilan yang akan ditawarkan. Setiap bidang keahlian yang dipilih haruslah diarahkan dalam rangka menyiapkan individu siswa untuk dapat menjawab persoalan kekinian, memahami relevansi dan keterkaitannya dengan bidang lainnya, serta menyiapkan mereka dalam menghadapi arus perubahan yang begitu cepat dalam bidang ekonomi, teknologi, politik, dan sosial-budaya.
Seluruh program pendidikan kejuruan yang dikembangkan hendaknya didasarkan pada upaya menyiapkan peserta didik agar mampu menjawab kebutuhan kekinian (immediate needs) terutama dalam bidang pertanian/pangan, kelautan, kehutanan, energi, dan pertambangan. Selanjutnya, program pendidikan kejuruan hendaknya juga dapat mendukung pembangunan bidang transportasi, manufaktur, jasa perhotelan, travel, restoran, kesehatan, asuransi, mikroekonomi, dan perbankan. Sementara itu, ICT, animasi, dan desain grafis juga layak untuk mendapat prioritas mengingat semakin pesatnya kemajuan dan pertumbuhan industri dalam bidang tersebut.
Pilihan program bisa sangat luas dan beragam. Karena itu, Depdiknas harus dapat melihat dan menilai kemampuan daerah, khususnya dalam menyediakan sarana belajar yang memadai, sumber daya kependidikan yang andal, dan prospek penyediaan lapangan pekerjaan baru bagi siswa lulusan sekolah kejuruan. Desain program hendaknya dapat disesuaikan dengan arah dan perkembangan pembangunan wilayah. Kehadiran SMK hendaknya dapat memberi nilai tambah ekonomi dan dapat mendukung pembangunan wilayah tersebut. Dengan tersedianya sumber kehidupan berupa lapangan pekerjaan yang baik, program itu diharapkan akan dapat meminimalkan arus migrasi dan urbanisasi angkatan kerja usia muda.