Sabtu, 14 Maret 2009

Pendidikan Dasar

Pendidikan Dasar

Artikel 1 :

REFORMASI DUNIA PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Dalam bidang pendidikan dasar, pemerintah SBY menghadapi persoalan yang sama dengan pemerintah sebelumnya. Persoalan itu berkutat seputar kewajiban untuk memberikan pendidikan berkualitas bagi warga negaranya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang. Sementara di sisi lain persoalan pendidikan masih bertumpuk ditengah kemampuan ekonomi negara yang tak juga membaik.

Kewajiban negara memberikan pendidikan berkualitas.

Pembukaan UUD ’45 menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pasal-pasal dalam batang tubuh UUD ’45 juga memperjelas kewajiban negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Pasal 28B (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.

Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya. Pasal 31 menyatakan 1) setiap warga berhak mendapat pendidikan, 2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

Ketentuan UUD di atas menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas memang menjadi salah satu titik tekan kebijakan umum pemerintah Indonesia sedari awal. Pendiri negara pada saat itu menyadari betul pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa. Ini juga berarti amanah kepada setiap pemerintah yang berkuasa di Indonesia untuk memberikan pendidikan bagi warga negaranya. Pada tahun 2003, pemerintahan presiden Megawati Sukarnoputri menterjemahkan amanah ini dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas menyebutkan keinginan besar pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengamanatkan agar dana pendidikan---selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan----dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD. Dengan dana APBN sebesar itu pemerintah bercita-cita untuk menyelenggarakan pendidikan dasar gratis.

Pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun, yaitu pendidikan SD dan SMP. Apabila dilihat dari umur maka mereka yang wajib bersekolah adalah 7-15 tahun. Saat ini populasi kelompok umur 7-15 tahun adalah sekitar 39 juta orang (Fazli Jalal, 2005). Dengan dasar hukum yang kuat seperti di atas maka mau tidak mau dalam setiap program pembangunan ----Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), Program Pembangunan Nasional (Propenas), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)----- kebijakan bidang pendidikan selalu muncul sebagai bahasan utama.

Persoalan Pendidikan Dasar di Indonesia.

Mekipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah enam dekade merdeka persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap pemerintahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjelaskan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Persoalan pertama, pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali (lihat tabel 1).

Tabel 1:

Penduduk diatas 15 tahun Menurut Pendidikan yang Ditamatkan

Pendidikan

Presentase

1

Tdk/ blm tamat SD

22%

2

SD

39%

3

SLTP

17%

4

SLTA

18%

5

Diploma

2%

6

Universitas

2%

TOTAL

100%

Diolah dari data Susenas, BPS 2003

Angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003).

Persoalan kedua, angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah---masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen). Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat. Data Susenas 2003 menemukan bahwa APS penduduk berusia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93.98 persen, sementara untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67.23 persen. Kesenjangan lebih lebar dijumpai pada usia 16-18 tahun dimana kelompok 20 persen terkaya mencapai 75.62 persen dan 20 persen termiskin hanya mencapai 28.52 persen.

Selain kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk kaya dan miskin terdapat juga kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Rata-rata APS untuk penduduk berusia 13-15 tahun di perkotaan telah mencapai 89.3 persen sementara untuk penduduk pedesaan hanya 75.6 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat pda kelompok usia 16-18 tahun, APS untuk penduduk perkotaan sebesar 66.7 persen sementara penduduk perkotaan hanya mencapai 38.9 persen. Data APS di atas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin lebar kesenjangan yang terjadi. Untuk anak usia 7-12 tahun, anak usia sekolah dasar, terdapat kesenjangan antara kelompok penduduk kaya-miskin dan kelompok penduduk pedesaan-perkotaan. Namun kesenjangan ini terlihat lebih lebar untuk anak usia SLTP (usia 13-15 tahun).

Persoalan ketiga, angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah.

Persoalan keempat, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh.

Persoalan kelima, kualitas pendidikan yang rendah. Sebenarnya kualitas kepandaian siswa-siswa Indonesia tidaklah kalah dari negara-negara lain. Buktinya, berulang-ulang anak Indonesia menang di arena perlombaan ilmu pengetahuan di tingkat internasional seperti di Olimpiade Fisika, dan The First Step to Nobel Prize (lihat data di bawah).

Tabel 2:

Siswa Indonesia yang Memenangkan Medali Emas di The First Step to Nobel Prize

Tahun

Nama

Sekolah

1999

I Made Agus Wirawan

SMUN 1 Bangli, Bali

2004

Septinus George Saa

SMUN 3 Jayapura, Papua

2005

Anike Nelce Bowaire

SMAN 1 Serui, Papua

2005

Dhina Pramita Susanti

SMAN 3 Semarang, Jateng

Di olah dari Kompas, 17 Juni 2005

Meski siswa-siswa Indonesia terbilang sering memenangkan perlombaan internasional, namun secara kualitas ternyata siswa Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini misalnya terlihat dari survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Lembaga ini melakukan survei secara internasional dan menggunakan metode statistik ketat. Hasilnya lembaga ini menempatkan posisi Indonesia pada posisi di bawah rata-rata (Suara Pembaharuan, Rabu 4 Mei 2005). Pada tahun 1999 dan 2003 hasil TIMSS tidak menunjukkan peningkatan mutu yang signifikan. Bila nilai rata-rata untuk Matematika adalah 467, Indonesia hanya mampu mencapai angka 411. Begitu juga untuk nilai di bidang sains, nilai Indonesia hanyalah 420 jauh dibawah nilai rata-rata yang 474.

Mengapa timbul fenomena yang paradoksal seperti ini? Nampaknya persoalan bukan terletak pada kualitas manusianya namun lebih pada kualitas dan sistem pendidikan di Indonesia. Melihat sederet persoalan di bidang pendidikan ini, publik saat ini menunggu kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY-Kalla untuk segera menyelesaikannya. Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden lalu, SBY-Kalla pernah menjanjikan terselenggaranya pendidikan gratis apabila ia terpilih.

KEBIJAKAN UMUM PEMERINTAHAN SBY

Kebijakan umum pemerintahan SBY-Kalla ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJMmenyebutkan target ”meningkatnya akses masyarakat terhadap

pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan” sebagai sasaran pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009. Target pemerintah dalam RPJM ini selain ingin menyelesaikan persoalan kuantitas---- meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan---, namun juga kualitas pendidikan di Indonesia. Target ini nampaknya memang ideal untuk mengatasi persoalan pendidikan yang selama ini dihadapi dan segaris dengan amanah undang-undang yang mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada warga negaranya.

Meski tercantum secara ideal dalam RPJM namun kenyataannya pemerintah masih belum memiliki kemauan politik kuat membuat pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Salah satu indikasinya adalah alokasi anggaran pemerintah bidang pendidikan yang sangat tidak mencukupi. Pemerintah SBY-Kalla dalam APBN 2005 mengalokasikan sejumlah Rp 25,710 triliun untuk anggaran bidang pendidikan. Jumlah ini hanyalah 9.7 persen saja dari total anggaran APBN. Dari jumlah tersebut Dirjend Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) mendapatkan jatah sebesar Rp 11,357 triliun.

Pemerintah beralasan bahwa kemampuan APBN negara tidak memungkinkannya untuk memenuhi kewajiban yang diembankan UUD ’45 harus mengalokasikan paling kurang 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang demikian rendah, pemerintah SBY-Kalla sulit untuk mengimplementasikan cita-cita pendidikan gratis dan bermutu sebagaiman sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang dan sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye. Menyikapi alokasi anggaran pendidikan ini masyarakat berreaksi keras. Salah satu kritiknya adalah bahwa alokasi anggaran pendidikan yang rendah, tidak sesuai dengan amanah konstitusi Indonesia. Sebabnya UUD ’45 pasal 31 jelas-jelas memerintahkan agar negara mengalokasikan paling tidak 20 persen anggaran APBN untuk kepentingan bidang pendidikan. Alasan ini membuat pengamat pendidikan terus meragukan komitmen pemerintah SBY-Kalla dalam pembangunan pendidikan.

Bahkan di tingkat internasional, anggaran yang rendah ini telah membuat Indonesia dimasukkan oleh Organisasi Guru Internasional ke dalam daftar salah satu negara dari tujuh negara—selain Mesir, Brasil, Argentina, India, Bangladesh, Pakistan---yang tidak memperdulikan bidang pendidikan (Smeru 2004 :18). Lembaga pendidikan PBB sendiri, UNESCO, telah memberi ketentuan agar setiap negara paling tidak mengalokasikan 25 persen dari anggaran negaranya untuk bidang pendidikan. Dengan kondisi anggaran yang demikian, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand saja anggaran pendidikan Indonesia masih kalah jauh. Anggaran pendidikan Indonesia rata-rata hanya sepertiga dari anggaran pendidikan negara-negara tersebut. Bahkan anggaran pendidikan Zimbabwe misalnya mencapai 8 kali lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan di Indonesia. Kondisi pendidikan Indonesia sangat parah sebab Indonesia ternyata merupakan Negara yang menyediakan anggaran pendidikan terkecil ke dua setelah Myanmar (Smeru 2004: 18).

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DASAR:

Ditengah keterbatasan dana dan keraguan masyarakat tersebut pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi persoalan-persoalan pendidikan yang telah diuraikan di atas. Sepanjang rentang 6 bulan pemerintahannya, SBY-Kalla telah mengambil sejumlah kebijakan berkaitan dengan pendidikan. Secara garis besar kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY-Kalla dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu 1) kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan 2) kebijakan untuk memperbesar akses masyarakat terhadap pendidikan. Kebijakan pemerintah ini satu persatu diuraikan di bawah ini.

Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

Dalam RPJM, pemerintah menyadari bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, hasil survei TIMMS memperlihatkan bahwa nilai murid di Indonesia secara umum lebih rendah dari standar rata-rata. Menurut pemerintah kualitas pendidikan ini terutama disebabkan oleh 1) ketersediaan pendidik yang belum memadai baik kualitas maupun kuantitas, 2) kesejahteraan pendidik masih rendah, 3) fasilitas belajar belum tersedia secara mencukupi, 4) biaya operasional pendidikan belum disediakan secara memadai.

Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menggambarkan rendahnya tenaga pendidik ini. Survei menunjukkan bahwa belum semua tenaga pendidik SD/ MI berpendidikan D-2 ke atas (baru mencapai 61.4 persen). Demikian juga guru SMP/ Mts masih banyak yang berpendidikan di bawah D-3. Guru SMP/MTs yang mengenyam pendidikan D-3 ke atas barulah mencapai 75.1 persen. Dengan kualitas pendidikan formal guru yang belum memadai tentu saja tak mungkin diharapkan mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

Persoalan rendahnya kesejahteraan pendidik juga merupakan persoalan tersendiri. Alasan ini tak jarang menyebabkan pendidik terpaksa mencari tambahan pendapatan lain. Sehingga terjadi kasus sekolah atau pendidik menjadi agen penjualan buku-buku wajib untuk murid. Kejadian ini memungkinkan terjadinya buku wajib yang berganti setiap tahunnya, yang memberatkan beban orang tua murid. Ditengah upaya meningkatkan kualitas pendidikan ini, pemerintah menghadapi kendala yang serius yaitu keterbatasan dana. Dengan latar belakang demikian sejumlah kebijakan diambil oleh pemerintah SBY-Kalla sebagaimana diuraikan di bawah ini.


Artikel 2 :

HMM Peduli Pendidikan Dasar Lewat Gerakan 1001 Buku

klik untuk memperbesar

Gerakan 1001 buku yang merupakan rangkaian kegiatan “HMM Peduli” dilangsungkan hari ini, Sabtu, 26 Maret 2005, berlokasi di Cangkuang Rancaekek, Bandung. Himpunan Mahasiswa Mesin (HMM) ITB menyumbangkan sejumlah buku kepada Sekolah Dasar Negeri 1, 2 dan 3 Cangkuang Rancaekek. Dana kegiatan berasal dari sumbangan para donatur yang digalang sejak tahun lalu, salah satunya dari PT Telkom. 990 buah buku yang terdiri dari buku pelajaran IPA, IPS, Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris diperoleh dengan harga murah dari Penerbit Tiga Serangkai.
Acara yang berlangsung pukul 09.00 ini, diawali dengan Cerdas Cermat tingkat SD mempertandingkan SDN 1, SDN 2 dan SDN 3. Para siswa dan guru yang mengikuti acara menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap acara ini. “ Kegiatan ini menandakan jika masyarakat HMM sangat peduli dengan masalah pendidikan. Karena pendidikan membentuk karakter SDM Indonesia. Bantuan yang kami tawarkan kali ini adalah memfasilitasi sarana belajar dan mengajar untuk siswa dan guru di sini.” papar Ahmad Zumali, HMM 2002 selaku ketua panitia yang diminta keterangan seusai kegiatan.
Gerakan 1001 buku menitik beratkan pada kebutuhan pendidikan dasar. Berbeda dengan HMM Peduli 2004 yang memfokuskan diri pada hal kesehatan dan pendidikan anak-anak jalanan. “Harapan kami, Himpunan Mahasiswa lainnya bisa mengadakan acara serupa, agar masalah pemerataan pendidikan menjadi tanggung jawab kita bersama. Tindak lanjut dari kegiatan ini, kami akan mengusahakan beasiswa untuk anak-anak SD dan SMP yang kurang mampu. Untuk masalah even selanjutnya, kami ingin mengadakan lomba-lomba olahraga untuk anak-anak SD dan SMP, kami ingin menanamkan jiwa sportivitas dan kreativitas yang merupakan fondasi dari sebuah pendidikan” tegas Zumali lagi.
Hal lain yang menarik diungkapkan Zumali ketika acara berlangsung. Pada saat Cerdas Cermat, sempat terjadi kesalahpahaman atas pertanyaan dewan juri. “Waktu itu ditanyakan kepada mereka, sebutkan 6 benua di dunia. Dan mereka hanya bisa menjawab 5 benua. Ternyata setelah di cek, para siswa tersebut masih menggunakan kurikulum 1998. Padahal dalam kurikulum 2004 yang digunakan sekarang, disebutkan ada 6 benua di dunia. Mungkin kurikulum baru 2004 belum tersosialisasikan kepada mereka”. cerita Zumali mengakhiri wawancara.


Artikel 3 :

Benahi Pendidikan Dasar!

Sebagus apapun program sertifikasi, jika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di Sekolah Dasar (SD) tidak berorientasi kepada output, hasilnya tidak akan memuaskan. Sebaliknya, jika di SD sudah benar, maka dapat dipastikan di jenjang berikutnya pun niscaya akan lancar. Semua tujuan pendidikan yang pernah dicantumkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, mengisyaratkan kehendak adanya perubahan pada diri murid setelah menempuh pendidikan. Macam perubahan itu, meningkat seiring dengan jenjang pendidikan yang ada. Adapun perubahan yang diinginkan ada pada diri murid adalah dalam bentuk kecerdasan, ketakwaan, dan keterampilan.Untuk mencapai itu, tentu saja pendidiknya pun harus yang cerdas, takwa, dan juga terampil. Jika guru, apakah Ia menempatkan diri sebagai pendidik atau sebagai pengajar tidak cerdas, tidak takwa, dan tidak terampil, masih bisakah pendidikan disebut sebagai usaha sadar? Bisa jadi masih bisa disebut demikian. Tapi, kesadaran yang ada ialah “sadar bahwa tujuan cerdas, takwa, dan terampil itu tidak akan tercapai.” Bahkan bisa dikatakan “telah tidak tercapai.”

Maka dari itu, hasil pendidikan sebagai usaha sadar setiap pendidik hendaklah tercermin dalam diri murid. Dengan kata lain, hasil yang ingin dilihat ialah “murid yang cerdas-murid yang takwa-murid yang terampil.” Mari menengok ke belakang sebagai perbandingan. Jika 50 tahun yang lalu seorang murid kelas 2 tidak hafal perkalian, maka bisa dipastikan Ia tidak akan naik kelas. Namun sekarang, bisa disurvei bahwa banyak murid yang tidak hafal perkalian, telah bisa duduk nyaman bahkan di kelas 6. Jika 50 tahun yang lalu murid kelas 1 belum bisa membaca, maka bisa dipastikan tidak naik kelas. Namun sekarang, malah banyak anak kelas 6 yang kepandaian membacanya masih sangat menyedihkan.

Dari fakta diatas kita bisa mengevaluasi lebih jauh. Walaupun usaha perbaikan pendidikan terus dilakukan, namun hasilnya tidak menjadi lebih baik bahkan dibandingkan 50 tahun yang lalu. Karena, semakin ke sini usaha perbaikan pendidikan hanya melulu ditujukan kepada peningkatan mutu guru. Lewat penataran, diklat, seminar, kuliah, dll. Hasilnya apa? Silakan beri tugas kepada 48 anak di kelas gemuk tingkat SLTP kelas I. Tugasnya sederhana saja. Suruh membuat ruas garis yang panjangnya 10 cm. Kemudian ruas itu dibagi dua dengan memberi titik di tengahnya. Pada tugas itu, berikan dalam sebuah kalimat, “buatlah garis yang panjangnya 10 cm dan beri titik di tengahnya, sehingga garis itu terbagi dua.” Bagaimana hasilnya? Jangan kaget. Saya pernah lakukan itu di 11 kelas. Tidak ada kelas yang hasil benarnya lebih dari 5 orang. Ini baru bikin garis. Belum yang lainnya. Mengerikan. Kemampuan bicara? Rasa percaya diri? - Bahkan Anda pasti tidak percaya, jika sekarang ada murid kelas 1 SLTP yang menjawab bahwa “kaki kambing itu delapan.” Jauh, jauh sekali jika dibandingkan dengan prestasi anak-anak dulu.

Ditengah situasi seperti itu, jika kita semua masih berkata bahwa dunia pendidikan kita sudah maju, alangkah dustanya kita. Kita seakan mengejar masa lalu orang lain. Sayang, saya tidak bisa bertemu dengan Menteri Pendidikan Nusantara kita ini. Padahal banyak hal yang ingin saya sampaikan. Paling tidak saya ingin berkata : Benahi dulu pendidikan dasar, jangan bikin guru stress dengan administrasi kelas. Periksa muridnya, jangan periksa administrasinya, atau sederhanakan administrasi kelasnya.


Artikel 4 :

Dukung Pendidikan Dasar Gratis

Fokus Pada Pendidikan Berkualitas

Pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan berkualitas harus menjadi komitmen pemerintah. Dukungan untuk penyelenggaraan wajib belajar SD-SMP gratis justru harus semakin kuat dengan adanya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
”Untuk persoalan pendanaan pendidikan dasar, UU BHP bisa dikatakan menghapus ketidakkonsistenan aturan lain. Di sini ditegaskan pemerintah harus menanggung biaya pendidikan dasar. Dukungan pemerintah untuk sekolah swasta yang menyelenggarakan pendidikan dasar juga harus ada,” kata Abbas Ghozali, Ketua Tim Ahli Standar Biaya Pendidikan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Senin (5/1) di Jakarta, dalam acara konsultasi pakar pendidikan menguji UU BHP yang dilaksanakan Education Forum.

Tanggung jawab pemerintah pada penyelenggaraan pendidikan dasar di sekolah swasta meliputi biaya operasional dan beasiswa. Selain itu, pemerintah berkewajiban memberikan bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sehingga menikmati layanan pendidikan sesuai dengan standar nasional.

DilevelSD-SMP

Di sisi lain, Abbas mengingatkan, pencapaian pendidikan dasar berkualitas masih dipertanyakan. Di pihak lain, pemerintah justru berorientasi pada pencapaian statistik semata. Fokus pada pendidikan dasar gratis dan berkualitas ini harus dilakukan karena secara umum pendidikan masyarakat Indonesia masih di levelSDatau di tahun pertama SMP. Chitra Hariyadi dari Pusat Telaah dan Informasi Regional mengatakan, pencapaian pendidikan dasar secara kuantitatif dan kualitatif pada kenyataannya masih rendah.
Anggaran yang ada lebih banyak dipakai untuk kebutuhan birokrasi, sedangkan pemerintah daerah masih mengandalkan kucuran dana dari pusat.
Sementara itu, persiapan untuk uji materiil UU BHP terus dilakukan Education Forum. Pakar pendidikan Soedijarto, Winarno Surachmad, dan Utomo Dananjaya meyakini penerapan BHP hanya akan menimbulkan masalah dan tidak memecahkan persoalan keterpurukan pendidikan di negara ini.


Artikel 5:

Kualitas Pelayanan Pendidikan Dasar Perlu Ditingkatkan

Lemahnya kompetensi aparatur penyelanggara pendidikan di DKI Jakarta ditengarai menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Jakarta. Artinya, pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan pendidikan dari tingkat dinas sampai tingkat sekolah menjadi titik tolak pendekatan manajemen sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan organisasi Sub Dinas Pendidikan SMP dan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta. Asumsi ini merujuk pada pendapat Gilly dan Maycunich (2000:98) yang mengungkapkan bahwa pengorganisasian terkait dengan pengaturan orang-orang ke dalam berbagai fungsi pekerjaan pada lingkungan tingkat tanggung jawab tertentu, kewenangan dan pengambilan keputusan, serta relasi timbal balik untuk mencapai tujuan strategi organisasi. Sedangkan pendapat Terry (1997:264) menyebutkan, organizing is the establishing of effective behavioral relationsships among persons so that may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the pupose of achieving some goal or objective.
Kaidah ini ternyata tidak menihilkan kenyataan yang terjadi pada penyelenggaraan pendidikan SMPN di DKI Jakarta. Jika ditilik dari indikator keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jelas terlihat suatu gambaran faktual bahwa kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Jakarta masih belum optimal. Misalnya, pencapaian SPM atas indikator tenaga kependidikan non guru hanya 68,81 persen. Padahal, target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 80 persen. Pencapaian SPM atas indikator guru berkualitas dan berkompetensi hanya mencapai 50,72 persen. Sedangkan target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 90 persen. Pencapaian SPM atas indikator jumlah siswa per kelas mencapai rata-rata 44 siswa per kelas. Target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini adalah antara 30–40 siswa per kelas.
Kemudian dalam penyelenggaraan SMPN di DKI Jakarta masih terdapat jumlah guru bidang studi atau mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Misalnya, bidang studi seni budaya kekurangan guru sebanyak 74 orang, bidang studi keterampilan kekurangan guru sebanyak 70 orang dan BP kekurangan guru sebanyak 883 orang. Belum optimalnya kualitas pelayanan pendidikan pada SMPN juga terungkap dari data permasalahan sekolah tahun 2007, yang antara lain menunjukkan belum meratanya distribusi guru di setiap sekolah. Kemudian belum meratanya pembagian tugas jam mengajar di setiap sekolah. Selain itu, juga masih banyak guru yang belum mempunyai kualifikasi S1 sesuai tuntutan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap guru minimal berijazah S1. Disamping itu, juga masih terdapat ketidaksesuaian antara kompetensi pendidikan yang dipunyai guru dengan bidang studi yang diajarkan.
Karena itu, dalam disertasi gelar doktor yang ditulis Saefullah, Wakil Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan, pengorganisasian berpengaruh terhadap signifikan terhadap kualiatas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Provinsi DKI Jakarta. Besarnya pengaruh pengorganisasian terhadap kualitas pendidikan ditentukan oleh hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab penggajian dan pengendalian. Dari hasil kajianya, Saefullah menyimpulkan tiga dimensi penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di DKI Jakarat yaitu, motivasi kerja aparatur penyelenggara pendidikan di DKI Jakarta masih rendah, susunan pelaksanaan kebijakan dan kegiatan pelayanan pendidikan dan distribusi pekerjaan-pekerjaan kurang terkoordinasi dengan baik, dan terakhir naik turunnya kualitas pelayanan pendidikan dasar lebih banyak tercermin dari penyediaan prasarana pendidikan yaitu gedung sekolah, ruang kelas, dan ruang perpustakaan serta tercermin dari perhatian kepala sekolah terhadap usulan orangtua siswa, perhatian guru terhadap keluhan siswa dan perhatian staf sekolah terhadap lingkungan sekolah.
Untuk itu, secara akademis Saefullah menyarankan, masalah pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan pelaksana kegiatan pendidikan dan masalah kompetensi aparatur pada jabatan struktural dan jabatan fungsional dinas pendidikan perlu dijadikan kajian utama terhadap kualitas pelayanan pendidikan. Kemudian secara praktis, disarankan agar Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta mengembangkan suatu pola pengorganisasian satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan yang tidak terlalu hirarkis dan pola pengorganisasian tersebut hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan teknis pelaksanaan pekerjaan. Selain itu, disarankan dua persen dari total alokasi anggaran pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan kompetensi tenaga keguruan SMPN dengan mengikutsertakan para guru yang berprestasi dan guru yang bertugas di daerah pesisir untuk mengikuti jejang pendidikan formal setingkat lebih tinggi atau mengikuti diklat keguruan.

Jumat, 13 Maret 2009

PENDIDIKAN MENENGAH

PENDIDIKAN MENENGAH

Artikel 1 :

Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK di DKI Jakarta

JAKARTA - Pemerintah Propinsi DKI Jakarta mencanangkan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) guna memenuhi efisiensi kerja dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam pengusaan ilmu pengetahuan. Pencanangan dibuka langsung oleh Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balaikota DKI Jakarta, Selasa (14/10).

Pencanangan Komunitas Pendidikan Menengah Berbasis TIK ini dimaksudkan untuk perluasan akses pendidikan, peningkatan kualitas, relevansi dan daya saing serta peningkatan manajemen pendidikan yang efisien, efektif, akuntabel dan pencintraan publik.

Selain itu juga merupakan upaya untuk membangun kultur yang mendukung dan memotivasi siswa agar mampu mandiri dalam berpikir dan belajar. Pencanangan ini merupakan wujud dan kolaborasi dari berbagai pihak seperti Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti), sekolah, Telkom, Microsoft dan berbagai profesional lainnya.

Dengan sistem TIK ini pembelajaran akan berpusat pada siswa dan bukan lagi pada guru seperti yang sebelumnya terjadi. Sehingga siswa akan lebih banyak menguasai persoalan dan akan berpikir kritis dan mampu mengambil setiap keputusan. Kedepan sekolah-sekolah di Jakarta akan terpasang hotspot dan wifi.


Artikel 2 :

Sekolah Menengah Atas

Sekolah Menengah Atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah Menengah Atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini disebut Sekolah Menengah Umum (SMU). Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), siswa SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Atas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja.Pelajar Sekolah Menengah Atas umumnya berusia 15-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun - maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.[1]

Sekolah Menengah Atas diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Atas Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.


Artikel 3 :

Pemkab Canangkan SMK Icon Pendidikan Menengah

BATULICIN - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanah Bumbu (Tanbu), mencanangkan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai simbol kebanggaan (icon) bagi pendidikan menengah. SMK patut sebagai icok karena berbagai potensi hasil pendidikan SMK telah memberikan sumbangsih yang besar terhadap terbentuknya tenaga-tenga terampil dalam bidang ketenagakerjaan, kata Kabid Pendidikan Menengah Diknas Tanbu, M Idjra`I MPd di Batulicin, kemarin. Dibandingkan sekolah umum seperti SMA, lulusan SMK lebih berpotensi untuk terjun kedunia kerja. Jika tidak, mereka juga bisa menlanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sesuai jurusan.

Secara umum lulusan SMK hanya menyumbangkan andil pengangguran sekitar 18 persen di Indonesia, dan jauy lebih kecil dibandingkan lulusan SMA yang masih jadi penyumbang jumlah pengangguran sekitar 80 di seluruh Indonesia. Kedepan pendidikan sekolah menengah akan lebih diprioritaskan untuk sekolah kejuruan. Dengan perbandingan 60:40. 60 persen target pemerintah untuk mengembangkan pendidikan siswa SMK, sedangkan 40 persen untuk meningkatkan pendidikan di SMA. Mulai 2009, anggaran untuk SMK dari pemerintah pusat diakui juga meningkat. Dari sekitar Rp1,9 trilliun menjadi Rp3,8 Trilliun. Anggaran ini difokuskan untuk membeli perlatan sekolah demi meningkatkan potensi ketrampilan dilikungan pendidikan SMK.

Di Kabupaten Tanbu terdapat delapan buah sekolah kejuruan (SMK) negeri dan swasta, perlengkapanya tergolong minim sehingga kurang memenuhi standar pendidikan. Fasilitas yang tersedia hanya baru sejenis Laboratorium Komputer, Laboratorium Bahasa, dan laboratorium IPA. Sementara untuk praktek yang menyangkut peralatan mesin sekolah itu masih perlu mejalin kerja sama dengan perusahaan lain. "Edialnya, selain Laboratorium sekolah kejuruan juga harus memiliki fasilitas Bengkel. Agar praktek kerja para siswanya bisa lebih mudah dan hasil ketrampilanya bisa lebih memuaskan," kata Idjra`i.


Artikel 4 :

PELATIHAN SEKOLAH MENENGAH ATAS

Sekolah menengah atas mencakup semua pelatihan untuk meningkatkan kemampuan antara tingkat sekolah menengah pertama dan perguruan tinggi. Undang-undang yang diberlakukan pada tahun 1995 mengijinkan semua orang yang berusia antara 16 dan 19 tahun untuk mengikuti program pendidikan menengah atas selama tiga tahun, yang dirancang untuk mengacu pada kualifikasi untuk program perguruan tinggi, sertifikat, kualifikasi kejuruan atau kualifikasi pada tingkat yang lebih rendah. Setiap orang berhak untuk diterima untuk mengikuti satu kursus persiapan, dan program studi/training dua tahun yang merupakan keterusan dari program persiapan.

Siswa dengan kebutuhan belajar khusus berhak memperoleh tambahan waktu dua tahun untuk menyelesaikan pendidikan menengah atas, jika memang dibutuhkan, untuk mencapai tujuan belajar mereka.

Sekolah menengah atas tersedia di semua bagian Norwegia.

Sejak musim gugur 2006, siswa dapat memilih dari 12 bidang studi/training di tingkat menengah atas:

  • Olah Raga dan Pendidikan Jasmani
  • Musik, Tari dan Drama
  • Mata pelajaran spesialis
  • Keahlian Bangunan dan Konstruksi
  • Disain dan Kerajinan
  • Elektro
  • Kesehatan dan Layanan Sosial
  • Media dan Komunikasi
  • Agrikultur, Perikanan dan Perhutanan
  • Restoran dan Makanan
  • Jasa, Transportasi dan Komunikasi
  • Perdagangan Teknis
  • Produksi Industri

Di tahun kedua dan ketiga, siswa mengiktui kursus yang lebih terfokus, yang dikembangkan berdasarkan pada tahun persiapan. Rata-rata siswa mengambil mata kuliah kejuruan untuk mendapatkan sertifikat. Umumnya mereka mengikuti program belajar dua tahun di sekolah dan satu tahun pelatihan di tempat kerja, diikuti dengan satu tahun bekerja di tempat yang sama.


Artikel 5:

Kualitas Pendidikan Tingkat Menengah Sangat Memprihatinkan

MASYARAKAT luas di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, awal Mei 2005 ini geger sehubungan dengan pengumuman hasil uji coba ujian nasional tingkat SMP tahun ajaran 2004/2005. Hasil uji coba ujian nasional yang menggunakan dasar Kurikulum 1994 sebagai acuan kompetensi menunjukkan, dari 43 SMP peserta tes hanya 4 SMP saja yang lulus ujian. Artinya, nilai rata-rata di 4 SMP tersebut berada di atas ambang kelulusan yang dipatok pemerintah, yakni 4,25. Sementara nilai rata-rata 39 SMP lain berada di bawah ambang batas kelulusan. Meskipun sebuah SMP dinyatakan lulus, bukan berarti semua siswa di sekolah tersebut lulus uji coba. Begitu juga sebaliknya. Ketidaklulusan sekolah dapat dibaca dari mayoritas siswa di sekolah tersebut yang nilai tesnya di bawah ambang batas kelulusan.

Uji coba di Kudus dilaksanakan 18-21 April 2005, diikuti sekitar 6.000 siswa kelas III dari 43 SMP. Ada enam mata pelajaran yang diujikan, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), serta Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Materi uji coba disiapkan oleh Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setempat dengan mengacu dasar-dasar kompetensi yang dipatok pemerintah. Perhitungan secara kasar dari 6.000 siswa peserta tes, jika ada 39 sekolah tidak lulus, artinya jumlah siswa yang gagal menembus patokan pemerintah (angka 4,25) diperkirakan mencapai 5.000 anak lebih. Mengingat Kabupaten Kudus termasuk daerah maju dan berada di Pulau Jawa, bagaimana dengan hasil-hasil tes di lain tempat terutama di luar Pulau Jawa?

Pelaksanaan uji coba bertujuan memetakan kesiapan siswa menjelang ujian nasional sesungguhnya yang akan dilaksanakan 6-8 Juni 2005. Guna menjamin validitas hasil, uji coba dikoreksi dengan sistem optical mark reader (OMR) di Lab Komputer Lembaga Pendidikan Mandiri Semarang. Para siswa mengerjakan soal dengan lembar jawaban komputer (LJK) sehingga saat ujian sesungguhnya tidak akan canggung.

Keempat sekolah yang dinyatakan lulus terdiri 3 SMP negeri dan 1 SMP swasta. Mereka adalah (berdasarkan peringkat) SMP Negeri 2 Kudus, SMP Keluarga, SMP Negeri 1 Jekulo, dan SMP Negeri 1 Gebog (lihat tabel 1). Dari 46 SMP di Kudus, hanya tiga sekolah tidak ikut uji coba tertulis, yaitu SMP Negeri 1 Kudus, SMP Negeri 1 Jati, dan SMP Negeri 3 Bae, yang beruji coba sendiri menggunakan metode contextual teaching learning (CTL) .

Meski hasil tes amat buruk, kalangan birokrasi Departemen Pendidikan Nasional dan penanggung jawab uji coba justru menyalahkan materi tes yang katanya dibuat sulit. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Provinsi Jateng Suwilan Wisnu Yuwono, hasil uji coba ujian nasional tidak bisa dijadikan ukuran kelulusan. "Biasanya soal untuk uji coba dibuat sulit untuk merangsang siswa agar nilai ujian nasional bisa bagus," ujar Suwilan (Kompas edisi Jateng, 21 Mei 2005). Menarik untuk disimak apakah memang benar materi uji coba di Kudus dibuat jauh lebih sulit dibandingkan dengan ujian nasional yang diadakan pemerintah pusat? Jika memang benar uji coba dibuat sulit, lantas di mana posisi ujian nasional yang menelan biaya tidak sedikit itu? Mengingat tes uji coba juga menggunakan spesifikasi butir soal sesuai dengan standar kompetensi lulusan, bukankah berarti kualitas pendidikan tingkat menengah secara nasional (diwakili hasil di Kudus) tercermin dari hasil tes tersebut?

PERATURAN Mendiknas Nomor 1 Tahun 2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2004/2005, Pasal 3, disebutkan, ujian nasional bertujuan untuk mengukur dan menilai kompetensi ilmu pengetahuan dan teknologi peserta didik pada mata pelajaran yang ditentukan dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Perlu diingat, untuk tahun ajaran 2004/2005 ini, peserta didik dinyatakan lulus ujian nasional apabila memiliki nilai lebih dari 4,25 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan (Pasal 14 Ayat 1). Akan tetapi, standar kelulusan 4,25 sebenarnya tidak baku. Karena Pasal 14 Ayat (2) disebutkan, pemerintah daerah dan atau satuan pendidikan dapat menetapkan batas kelulusan di atas nilai sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). Artinya, masing-masing satuan pendidikan (sekolah) diberi kewenangan untuk menetapkan tingkat kelulusan asal tidak boleh di bawah patokan pemerintah, yakni 4,25. Konsekuensi dari Pasal 14 Ayat (1) di atas kelulusan peserta didik ditentukan dari 12 mata pelajaran yang diujikan. Dari 12 mata pelajaran tadi, tiga di antaranya, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, materi soalnya ditentukan pusat, sementara sembilan mata pelajaran lain, materi soal dikelola daerah atau sekolah masing-masing.

Dalam kasus uji coba di Kudus, enam materi tes semua disiapkan pihak MGMP, yang berarti tingkat validitas hasil lebih mencerminkan kualitas pendidikan peserta didik. Pihak sekolah sama sekali tidak dilibatkan dan tidak mengetahui spesifikasi butir soal yang akan keluar tes. Validitas akan tampak jika menyoroti jumlah kegagalan sekolah lulus ujian dilihat dari hasil per mata pelajaran (lihat tabel 2). Ternyata ditemukan bukti kegagalan sekolah bukan karena hasil satu mata pelajaran saja. Bahkan, sejumlah sekolah gagal di lima mata tes uji coba. Yang menarik, dari enam mata pelajaran tes uji coba, hanya mata pelajaran PPKn yang berhasil meloloskan 43 sekolah (lihat tabel 3), sementara yang gagal lulus terbanyak di 39 SMP disebabkan karena mata pelajaran Matematika.

Jika mau jujur, tingkat validitas kualitas pendidikan tidak tercermin dari hasil tes sesungguhnya. Bukan rahasia lagi tes ujian yang diadakan sekolah atau daerah hampir dapat dipastikan peserta didik akan lulus. Tanpa bersusah payah dan tanpa belajar pun tidak akan ditemui cerita seorang siswa gagal ujian. Dari pengalaman selama ini, tes yang diadakan sekolah atau daerah penuh hasil rekayasa. Ada tiga sistem menilai hasil tes siswa, yaitu sistem silang penuh, setengah silang, dan terakhir dinilai 2 guru sekolah sendiri. Sistem silang penuh hasil tes dinilai 2 orang guru lain sekolah. Sistem setengah silang, hasil tes dinilai 1 guru sendiri dan 1 guru lain sekolah. Hasil penilaian 2 guru dimasukkan lembar bantu lalu "dikawinkan" untuk kemudian diperoleh hasil akhir masing-masing siswa. Jika ditemukan ada siswa nilainya berada di bawah ambang batas kelulusan, nilai tersebut "didongkrak" sehingga akhirnya dapat lulus ujian. Nilai "dongkrak" itu biasanya diputuskan melalui mekanisme rapat antarsekolah. Alhasil, nilai hasil ujian nasional yang diadakan sekolah atau daerah hampir dipastikan selalu lolos ambang batas kelulusan. Mengapa ketidakjujuran itu selalu berlangsung saban tahun? Jawabnya mudah. Pengambil kebijakan sendiri (baca: pejabat teras Depdiknas) juga berlaku tidak jujur dan membiarkan kecurangan tersebut terjadi.

Dari kajian sederhana ini dapat ditarik kesimpulan, banyak pihak belum mampu mandiri. Orangtua ingin selalu anaknya lulus ujian, guru juga belum punya keberanian. Pihak sekolah selalu bangga mampu lulus 100 persen. Pejabat terkait sama juga, selalu minta anak buahnya mampu meloloskan sebanyak mungkin. Meski untuk cara itu ditempuh beragam rekayasa. Dibutuhkan keberanian untuk merombak sistem yang ada. Sistem penilaian komputer yang dikelola pusat sudah barang tentu tidak luput dari rekayasa. Hasil yang diperoleh siswa bukan melalui proses belajar-mengajar, namun bergantung pada programer. Memang untuk maju butuh keberanian dan kejujuran. Hasil uji coba di Kudus membuka mata kita bahwa kualitas pendidikan tingkat menengah sudah amat buruk

PENDIDIKAN TINGGI

PENDIDIKAN TINGGI

Artikel 1 :

60 Persen Lulusan PT Menganggur

Surabaya, Kompas - Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 60 persen lulusan perguruan tinggi menganggur. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah perlu segera mengubah fokus pendidikan tinggi dari akademis ke vokasi. Jumlah lulusan perguruan tinggi baik program diploma maupun sarjana lebih dari 300.000 orang per tahun. Adapun jumlah mahasiswa vokasi perguruan tinggi negeri dan swasta tahun 2005 sebanyak 838.795 orang, tahun 2006 menjadi 1.256.136 orang dan 2007 turun menjadi 979.374 orang.Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Erlangga Satriagung di Surabaya, Rabu (14/1), mengatakan, lapangan kerja rata-rata hanya menyerap 37 persen lulusan perguruan tinggi (PT). Bahkan, beberapa tahun ke depan diperkirakan daya serap itu menurun karena pengaruh resesi.

Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Priyo Suprobo mengatakan, kondisi itu memang ada benarnya. Hal itu terutama terjadi pada program akademis. ”Sebaliknya untuk pendidikan vokasi seperti politeknik justru kekurangan lulusan untuk disalurkan ke dunia kerja,” ungkapnya. Karena itu, sudah seharusnya pemerintah lebih memerhatikan pendidikan vokasi. Pemerintah harus berani memberi anggaran lebih besar untuk pendidikan vokasi. ”Penyelenggaraan pendidikan vokasi butuh dana besar, terutama untuk praktikum mahasiswa agar terampil,” katanya. Secara terpisah, penasihat Dewan Pendidikan Jatim, Daniel M Rosyid, mengatakan, tidak semua lulusan sekolah menengah layak masuk perguruan tinggi. ”Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2003 mengungkapkan hanya 20 persen layak masuk ke perguruan tinggi jenjang sarjana,” ujarnya.

Priyo Suprobo mengatakan, perguruan tinggi perlu membekali mahasiswanya dengan soft skill, terutama pada attitude serta keterampilan wirausaha. Kedua hal itu sangat berguna bagi mahasiswa setelah lulus. (RAZ)


Artikel 2 :

Doktor Pengangguran Ditolak Jadi Penyapu Jalan

SEOUL -- Krisis ekonomi yang memburuk telah memaksa seorang ilmuwan pengangguran di Korea Selatan untuk melamar jadi tukang sapu jalan pada Selasa lalu. Lamarannya ditolak.Pemerintah Daerah Gangseo di Seoul membuka lowongan bagi lima pegawai untuk membersihkan jalanan di salah satu kawasan terpadat di ibu kota Korea itu. Kim, ilmuwan bergelar doktor bidang fisika, menjadi satu dari 63 orang yang melamar. Sebelas orang di antara para pelamar itu adalah lulusan universitas. Tapi, para sarjana itu akhirnya tahu bahwa tenaga telah mengalahkan otak.Para pelamar itu diuji dengan membawa dua kantong pasir, masing-masing seberat 20 kilogram, di bahunya dan kemudian dilempar--sebuah simulasi membopong kantong sampah dan membuangnya. Tugas itu dilakukan dengan bolak-balik sejauh 25 meter.

Menurut Chung Young-ik, pejabat pemerintah yang bertugas dalam perekrutan itu, Kim lebih lambat tiga detik dibanding pelamar pesaingnya, sehingga dia dinyatakan tak lulus ujian."Saya telah membuat rekor yang buruk," kata Kim kepada wartawan.Pemerintah Gangseo mengatakan rata-rata 12,6 orang bersaing untuk merebut setiap "kursi tukang sapu" pada tahun ini. Sedangkan tahun lalu satu "kursi" diperebutkan oleh delapan orang.Menjadi tukang sapu jalan di sana sebenarnya cukup menarik. Mereka rata-rata mendapat gaji awal 33 juta won atau sekitar Rp 275 juta. Menurut Chung, nilai ini lebih besar daripada pendapatan sarjana baru yang bekerja di perusahaan besar. Jadi tukang sapu juga sangat aman karena mereka boleh bekerja hingga berusia 60 tahun.Perekonomian Korea memang sedang goyah. Negeri Gingseng itu hanya menciptakan 78 ribu lapangan pekerjaan pada November, turun dari 97 ribu pada bulan sebelumnya.Menurut Kantor Statistik Nasional Korea, angka pengangguran mencapai 3,3 persen pada Desember lalu, naik dari 3,1 persen pada November dan 3 persen pada Oktober tahun lalu.Pemerintahan Presiden Lee Myung-bak menjadikan peningkatan lapangan kerja sebagai prioritas.


Artikel 3 :

Pemerintah Tidak Bisa Jamin SPP di PTN Tak Naik

Kompas JAKARTA, KAMIS — Pemerintah belum bisa menjamin uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) atau uang kuliah di perguruan tinggi negeri tak naik pascadisahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh anggota DPR RI kemarin. "Pada waktu anggaran Dikti Rp 23 triliun, kita kan sepakat tak ada kenaikan SPP. Tapi sekarang karena krisis dikurangi Rp 5 triliun jadi Rp 18 triliun. Kita belum tahu seperti apa," kata Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas Fasli Djalal seusai keterangan pers di Gedung Depdiknas Jakarta, Kamis (18/12). Menurut Fasli, tetap ada kemungkinan uang SPP mahasiswa PTN dapat turun jika biaya operasional tidak berubah. Justru jika komponen setiap PTN tidak lebih dari 35 persen, hukum mengharuskan PTN menurunkan jumlah SPP-nya.

Kemarin, di sela-sela agenda pengesahan RUU BHP di gedung Dewan, sejumlah mahasiswa UI mendesak DPR membatalkan pengesahan RUU ini sebab dikhawatirkan tidak akan bersahabat dengan kesempatan masyarakat kalangan bawah untuk mengakses pendidikan tinggi. Mereka mengkhawatirkan akibat perubahan status perguruan tinggi menjadi BHP membuat pihak perguruan tinggi dapat semena-mena menetapkan jumlah SPP yang harus dibayarkan.


Artikel 4 :

Hanya Lima PTN yang Raih Akreditasi A

Tanpa Akreditasi, Tidak Boleh Luluskan Mahasiswa

Bandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A. Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini. ”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza. Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.

Belum berani dinilai

Tahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan. Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya. Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang. Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa. ”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.

Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan. Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi. UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar.


Artikel 5 :

Komersialisasi Pendidikan Tinggi Suatu Negara

Semarang (The Jakarta Post: 07/11/06) Seorang rektor dari sebuah perguruan tinggi ternama pernah berbicara dengan penuh semangat, “Tugas utama saya sebagai seorang rektor adalah untuk mencari dana dan mendapatkan uang.” Kebanyakan dari hadirin tercengang dengan pernyataannya, termasuk saya. Saya kembali mengingat ucapan rektor itu, saat saya selesai membaca buku karangan Derek Bok, Universities in the Marketplace: The Commercialization of Higher Education (Princeton University Press, 2003). Pengarang itu menandaskan bahwa komersialisasi perguruan tinggi di Amerika punya sejarah yang panjang, mulai dari awal 1900-an, pada waktu terjadinya perkembangan pesat dari tim-tim sepak bola di berbagai universitas, yang menghasilkan keuntungan keuangan yang signifikan bagi institusinya.

Olah raga di universitas menghantarkan para wasit dan pemain mendapatkan gaji yang sama dengan para dosen. Strategi ini di ikuti dengan pemakaian nama universitas untuk produk komersial – suatu praktek yang menjanjikan keuntungan lebih besar lagi. Peranan universitas di AS sudah berubah dari pusat pengetahuan nirlaba menjadi institusi yang berorentasi pada keuntungan. Tetapi perubahan ini telah dikritik oleh banyak orang. Kecenderungan untuk mengkomersialisasikan penddikan tinggi sekarang menular di Indonesia. Sebuah koran nasional awal bulan ini mengupas bahwa semua universitas negeri akan segera diatur dibawah model privatisasi.Model itu secara jelas disebutkan dalam rancangan undang-undang untuk institusi pendidikan, yang saat ini sedang di bahas oleh kantor sekretariat negera sebelum diajukan ke DPR.

Bagaimanapun, misi utama dari perguruan tinggi – yaitu untuk membangun komunitas intelektual, menyediakan kesempatan untuk mobilitas vertikal dan horizontal, untuk memastikan keadilan sosial dan akses yang sama untuk pendidikan dan menemukan kebenaran melalui penelitian – haruslah dilindungi dan tidak terkontaminasi dengan tekanan komersial yang sempit.

Bermanfaat juga kiranya untuk merenungkan kritikan pedas pada model Amerika seperti yang disampaikan Frank Newman lewat bukunya yang berjudul The Future of Higher Education (2004), di mana dia menyatakan bahwa, “Pencarian kebenaran di perguruan tinggi sekarang bersaing dengan pencarian pendapatan”. Orang mungkin sependapat dengan tujuan pemerintah melalui hukumnya untuk memastikan universitas negeri dan swasta mendapatkan otonomi yang lebih besar serta memprioritaskan pada manajemen keuanganan, sumber daya manusia, tehnologi dan birokrasi. Orang mungkin juga setuju dengan usaha keras negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih tinggi dengan usaha keras negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih tinggi lewat jaminan, pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan, kompetisi dan melembagakan meritrokrasi.

Tetapi, penulis dan banyak orang lain berpendapat bahwa universitas negeri dan swasta jangan sampai dipaksa dalam persaingan komersial, dimana murid dilihat lebih sebagai konsumen, dan penelitian serta perndidikan dilihat sebagai produk atau komiditi. Jennifer Washburn dalam University Inc.: The Corporate Corruption of Higher Education (Basic Books, 2005) berargumentasi bahwa dalam dua dekade terkahir ini kekuatan dari komersial dan bisnis telah masuk hampir dalam semua aspek dan kehidupan akademik. Insitutisi perguruan tinggi didorong untuk bertindak sebagai pabrik mencari untung, sementara para dosen bertindak lebih seperti pengusaha ketimbang akademisi.

Kita perlu mencatat dalam pemikiran kita terkait kasus yang tidak terpuji di Korporasi Enron, beberapa dosen dari universitas Harvard Bussies School dibayar dengan biaya konsultasi tinggi untuk menerbitkan hasil riset yang penuh kebohohongan dan manipulasi fakta. Masalah ini sampai ke Asosiasi alumnus Harvard, yang berintegarsi dengan Harvard Watch, yang lalu meminta Universitas Harvard untuk membuat permintaan maaf secara terbuka pada rakyat Amerika atas keterlibatannya. Mencampuradukkan pendidikan dengan keuntungan hanya akan mengalienasi jutaan orang yang tetap mempercayai integritas dan ketulusan komunitas akademik. Pelajaran dari AS di sini sungguhlah berharga. Pendidikan tinggi harus selalu siap untuk beberapa perubahan, tetapi transformasinya harus tidak menyeleweng dari fungsi pendidikan sebegai milik umum.