Jumat, 13 Maret 2009

PENDIDIKAN NONFORMAL

PENDIDIKAN NONFORMAL

Artikel 1 :

Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Daftar isi

Sasaran

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Fungsi

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Bentuk

Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

Satuan pendidikan penyelenggara

Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.


Artikel 2 :

Korporatorial Pendidikan Non Formal

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai. Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.

Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi. Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.

Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.

Fleksibilitas waktu

Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut. Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.

Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.

Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan". (CY1)


Artikel 3 :

"Home Schooling" Alternatif Pendidikan Non-formal



Jakarta (ANTARA News) - 'Home Schooling' menjadi alternatif pilihan pendidikan nonformal bagi anak-anak yang enggan belajar secara formal di kelas.
"Pendidikan ini dapat dilakukan di mana saja dan membuat anak merasa bebas tanpa ada paksaan," kata Pendiri Home Schooling Kak Seto atau nama lengkapnya Seto Mulyadi, di Jakarta, Rabu. Dia mengatakan keputusan untuk mengikuti home schooling ini haruslah sepenuhnya dari keinginan anak, tanpa paksaan dari orang tua. Menurut dia, kesuksesan untuk dapat menjadi guru yang baik bagi anak-anak adalah dengan cara bersabar, mengajarkan tanpa paksaan, dan dengan bahasa yang lembut. "Tidak perlu dengan paksaan dan suara tinggi. Lakukan dengan senyum, maka mereka akan senang," katanya.
Dia mengatakan ada beberapa klarifikasi format home schooling yang diperkenalkan, yakni home schooling tunggal yang hanya dididik oleh orang tua, home schooling majemuk yang dilaksanakan dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.Dan terakhir, dia menyebutkan komunitas home schooling yang merupakan gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan mengajar, kegiatan pokok seperti olahraga, musik dan seni, serta sarana dan jadwal pembelajaran. Salah seorang murid Kak Seto yang juga memiliki home schooling untuk balita, Shelomita, mengatakan terkadang orang tua tidak yakin dapat menjadi guru yang baik bagi putra-putrinya sendiri.
Menurut Shelomita, pada awalnya dia juga merasa khawatir apakah mampu untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Namun, akhirnya dengan kepercayaan diri sanggup menjadi guru sekaligus orang tua bagi anak-anaknya. Alasan dia membuka home schooling untuk balita, yakni ingin memberi kebebasan pada anak-anak, tapi tetap dapat belajar.


Artikel 4 :

Anggaran Pendidikan Non Formal Tahun 2008 Naik

Pendidikan & Budaya

Jakarta ( Berita ) : Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”

Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya. Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran. “Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya. Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni. Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,” kata Bambang. ( ant )


Artikel 5 :

Krisis Pendidikan Nonformal di Pengungsian

Bangsa Indonesia mengalami tiga kali peristiwa bencana yang mengakibatkan jatuh korban jiwa dan harta benda dalam jumlah besar yakni gempa bumi dan tsunami di kawasan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Sumatra Utara, gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, serta gempa bumi dan tsunami di daerah Pantai Laut Selatan.

Adapun yang patut dicermati dari ketiga peristiwa tersebut, ternyata antusias masyarakat -- pada masa pascatanggap darurat-- terhadap para korban bencana di lokasi pengungsian acap kali tidak optimal. Sebagian masyarakat cenderung menggebu-gebu gairahnya untuk memberikan bantuan berupa dana dan barang hanya pada masa tanggap darurat.

Selanjutnya, masyarakat terkesan kurang antusias memberikan bantuan tingkat lanjut bagi para pengungsi. Bahkan tak jarang, ada sejumlah oknum masyarakat yang datang ke lokasi pengungsian berperan mirip "penonton", dan menjadikan para pengungsi "seolah-olah" merupakan objek foto dan gambar yang layak diabadikan dengan menggunakan kamera foto maupun handycam.

Alhasil, para pengungsi yang "kehausan" ilmu pengetahuan dan "kelaparan" materi pendidikan itu dibiarkan begitu saja. Demikian halnya, teriakan-teriakan para relawan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan nonformal misalnya, seolah-olah tak didengarnya.

Problem di lokasi pengungsian ini, ironisnya --berdasarkan pengamatan penulis di tiga lokasi bencana yakni kawasan NAD, DIY dan Jateng, serta Pangandaran Ciamis-- hingga sekarang belum ada solusinya yang kualitatif dan terpadu.

Keterbatasan dana, waktu, dan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan-- yang diperankan para relawan serta instansi Tenaga Pendidik dan Kependidikan-Pendidikan Non Formal (PNF) Depdiknas-- tampaknya kurang diperhatikan oleh sebagian anggota masyarakat yang tidak mengalami musibah bencana serta instansi terkait lainnya.

Di antara anggota masyarakat ada yang kurang tanggap terhadap perlunya kegiatan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian pada pascatanggap darurat. Ya, termasuk tentang upaya menyediakan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan bagi aktivitas pendidikan nonformal.

Fenomena krisis pendidikan di lokasi pengungsian ini, tentu turut mewarnai dunia pendidikan nasional yang sedang "terpuruk" kualitasnya sebagaimana diungkap Wapres Jusuf Kalla.

Di depan peserta Rakornas Revitalisasi Pendidikan di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (8/8), Jusuf Kalla mengatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terancam akan terpecah di masa mendatang bilamana kualitas sumber daya manusia berbeda-beda karena perbedaan kualitas pendidikan.

Pernyataan Jusuf Kalla ini tentu penting, mengingat sebagian besar SDM Indonesia sekarang berada di lokasi pengungsian akibat bencana. Masa depan mereka, jelas berkaitan erat dengan kualitas pendidikannya, baik formal maupun nonformal.

Potret krisis pendidikan nonformal di lokasi pengungsian tersebut, setidaknya tercermin dari realita tertatih-tatihnya para sukarelawan lembaga-lembaga sosial kemanusiaan tatkala berkiprah di lokasi bencana di NAD, DIY, dan Jateng, serta kawasan Pangandaran Ciamis.

Para sukarelawan mengalami kesulitan mewujudkan program pendidikan nonformalnya secara sempurna, mengingat tingkat kesadaran masyarakat --korban bencana maupun yang tidak terkena bencana-- tentang pentingnya pendidikan nonformal cenderung minim.

Dalam konteks ini, pimpinan Gema Nusa, K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) berpandangan, idealnya program pendidikan nonformal bagi para pengungsi korban bencana seperti di NAD dilakukan secara sempurna. Misalnya, melibatkan sebanyak-banyaknya potensi generasi muda setempat dan dilakukan secara kontinu, serta memperoleh dukungan optimal dari berbagai pihak terkait. Bentuk kegiatannya bisa berupa program pendidikan nonformal dan keterampilan yang lebih beragam jenisnya.

Selain itu, diupayakan pula program kerja sama antara lembaga-lembaga sosial-kemanusiaan dengan instansi terkait antara lain Depdiknas, terutama yang benar-benar eksis dan memiliki perangkat aksi yang kualitatif di lokasi pengungsian.

Di sisi lain, perlu ada kesadaran kemanusiaan dan keikhlasan di kalangan para alumni perguruan tinggi untuk mengamalkan ilmunya mendidik masyarakat di lokasi pengungsian. Ya, sangat dibutuhkan kehadiran dan peran optimal para tenaga pendidik dan tenaga kependidikan nonformal.

Betapa tidak, di lokasi pengungsian sangat diperlukan antara lain adanya tenaga PAUD (pendidikan bagi anak usia dini), fasilitator desa binaan intensif (FDI), instruktur kursus keterampilan, tenaga administrasi pendidikan, pustakawan, narasumber teknis, dan tenaga lapangan dikmas di tingkat kecamatan.

Sungguh, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian korban bencana alam, maka diperlukan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang andal.

Secara institusional, tentunya Direktorat Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas memiliki tugas dan kewenangan memenuhi kebutuhan mutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian.

Direktorat Depdiknas tersebut, perlu menstimulus para sarjana untuk bersedia amal saleh di daerah-daerah. Bahkan patut pula menstimulus Pemprov Jabar agar bersedia menjadikan lokasi-lokasi bekas bencana alam sebagai tempat pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN) para mahasiswa. Dengan upaya ini, mudah-mudahan terwujudlah cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional