Jumat, 13 Maret 2009

PENDIDIKAN KEAGAMAAN

PENDIDIKAN KEAGAMAAN

Artikel 1 :

Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.
“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.
Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak. Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional. Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta. “Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.
Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya. Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.
Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.
Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.
Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.


Artikel 2 :

Kenalkan Agama Sejak Dini pada Anak

Dalam kehidupan manusia harta benda dan anak-anak kita merupakan karunia Ilahi dan sebagai ujian atau percobaan (fitnah), apakah kita dapat memanfaatkan harta itu dan sudah benarkah kita mendidik anak-anak tersebut. Yang perlu kita ketahui dalam kehidupan mansuia bahwa harta dan anak-anak merupakan unsur utama untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan duniawi. Karena harta dan anak adalah hiasan hidup duniawi, maka

"Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah permainan, kesenangan dan kemegahan serta saling bangga, saling berlomba banyak dalam harta dan anak ..."
(QS. Al-Hadid, 57:20).

Jadi, sebagai fitnah, sisi lain dari harta dan anak ialah kemungkinannya dengan mudah berubah dari sumber kebahagiaan menjadi sumber kesengsaraan dan kenistaan yang tidak terkira. Yaitu apabila kita tidak sanggup memanfaatkan harta dan mendidik anak tersebut sesuai dengan pesan dan amanat Allah.Makna agama bagi kita adalah agama bukanlah sekedar tindakan-tindakan ritual seperti sholat dan membaca do'a saja. Akan tetapi agama lebih dari itu, yaitu agama mengatur keseluruhan tingkah laku manusia demi memperoleh ridla Allah. Agama dengan kata lain, agama meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, yang tingkah laku itu membentu keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlak karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Alllah dan bertanggung jawab secara pribadi di Hari Kemudian (Kiamat). Hal tersebut diatas merupakan pernyataan kita dalam do'a pembukaan shalat kita (do'a iftitah), bahwa shalat kita, darma bakti kita, hidup kita, mati kita dan semua adalah untuk atau milik Allah seru sekalian alam. Pendidikan agama sesungguhnya adalah pendidikan untuk prtumbuhan total seorang anak didik. Dan tidak benar jika dibatasi hanya kepada pengertian-pengertiannya konvensional dalam masyarakat. Karen itu peran orang tua dalam mendidik anak melalui pendidikan keagamaan yang benar adalah amat penting. Oleh Karena itu pendidikan agama keagamaan dalam keluarga tidak hanya melibatkan orang tua saja, akan tetapi seluruh keluarga dalam usaha menciptakan suasana keagamaan yang baik dan benar dalam kelaurga. Peran orang tua tidak hanya barupa pengajaran, tetapi juga berupa peran tingkah laku, ketauladanan dan pola-pola hubungannya dengan anak yang dijiwai dan disemangati oleh nilai-nilai keagamaan menyeluruh. Seperti pepatah mengatakan bahwa pendidikan dengan bahasa perbuatan (perilaku) (tarbiyah bi lisan-I'l-hal) untuk anak adalah lebih efektif dan lebih mantap dari pada pendidikan dengan bahasa ucapan (tarbiyah bi lisan-il-maqal). Karena itu yang penting adalah adanya penghayatan kehidupan keagamaan dalam suasana rumah tangga.

Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pendidikan agama berkisar antara dua dimensi hidup, yaitu penanaman rasa taqwa kepada Allah dan pengembangan rasa kemanusiaan kepada sesama. Penanaman rasa taqwa kepada Allah sebagai dimensi hidup dimulai dengan pelaksanaan kewajiban-kewajiban formal agama yang berupa ibadah-ibadah. Sedangkan pelaksanaannya harus disertai dengan penghayatan yang sedalam-dalamnya akan makna ibdah-ibadah tersebut, sehingga ibadah-ibadah itu tidak dikerjakan semata-mata sebagai ritual belaka, melainkan dengan keinsyafan mendalam akan fungsi edukatifnya bagi kita semua.

Rasa taqwa kepada Allah itu kemudian dapat dikembangkan dengan menghayati keagungan dan kebesaran Allah lewat perhatian kepada alam semesta beserta segala isinya, dan kepada lingkungan sekitar. Sebab menurut al-Qur'an hanya mereka yang memahami alam sekitar dan menghayati hikmah dan kebesaran yang terkandung di dalamnya sebagai ciptaan Ilahi yang dapat dengan benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga bertaqwa kepada-Nya. Melalui hasil perhatian, pengamatan, dan penelitian kita terhadap gejala alam dan social kemanusiaan tidak hanya menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif belaka, juga tidak hanya yang bersifat aplikatif dan penggunaan praktis semata (penggunaan teknologi), tetapi dapat membawa kita kepada keinsyafan Ketuhanan yang mendalam, melalui penghayatan keagungan Tuhan sebagaimana tercermin dalam seluruh ciptaannya.

Keinsyafan merupakan unsur yang teramat penting dalam menumbuhkan rasa taqwa, maka pendidikan keagamaan dalam keluarga harus pula meliputi hal-hal yang nota bene diperintahkan Allah dalam al-Qur'an (sesuai dengan ajaran-Nya). Wujud nyata atau substansi jiwa Ketuhanan itu terdapat dalam nilai-nilai keagamaan pribadi yang amat penting yang harus ditanamkan kepada anak-anak. Kegiatan menanamkan nilai-nilai itulah yang sesungguhnya akan menjadi inti pendidikan keagamaan. Diantara nilai-nilai itu yang sangat mendasar adalah:

  • Iman
    Sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Allah.
  • Islam
    Sikap pasrah kepada-Nya dengan menyakini bahwa papun yang datang dari Allah tentunya membawa hikmah kebaikan, yang kita (dlaif) tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya.
  • Ihsan
    Kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimana pun kita berada.
  • Taqwa
    Sikap yang sadar penuh bahwa Allah selalu mengawasi kita, kemudian kita berbuat hanya sesuatu yang diridlai Allah dengan menjauhi dan menjaga diri dari sesuatu yang tidak diridlai Allah.
  • Ikhlash
    Sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh ridla Allah dan dan bebas dari pamrih lahir dan batin tersembunyi maupun terbuka.
  • Tawakkal
    Sikap senantiasa bersandarkan diri kepada Allah dengan penuh harapan dan dengan keyakinan kita pula bahwa Allah akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik bagi kita.
  • Syukur
    Sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan atas nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya yang dianugrahkan Allah kepada kita.
  • Sabar
    Sikap tabah mengahadapi segal kepahitan hidup, besar atau kecil, lahir atau batin, karena keyakinan yang tidak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Tentunya masih banyak lagi nilai-nilai keagamaan pribadi yang diajarkan dalam islam. Biasanya orang tua atau pendidik akan dapat mengembangkan nilai-nilai keagamaan lainnya sesuai dengan perkembangan anak dan keadaan.

Dimensi hidup manusia yang lain adalah mengembangkan rasa kemanusian kepada sesama. Keberhasilan pendidikan agama bagi anak-anak tidak cukup diukur hanya dari segi seberapa jauh anak itu menguasai hal-hal yang bersifat kognitif atau pengetahuan tentang ajaran agama (ritual-ritual). Justru yang lebih penting adalah sejauhmana nilai-nilai keagamaan itu dalam jiwa anak-anak diwujudkan dalam tingkah laku dan budi pekerti sehari-hari, sehingga dapat melahirkan budi luhur (akhlakul karimah). Sekedar untuk pegangan operatif dalam menjalankan pendidikan keagamaan kepada anak, mungkin nilai-nilai akhlak berikut ini dapat dipertimbangkan oleh semua orang tua untuk ditanamkan kepada anak-anak, yaitu:

  • Silaturrahmi
    Pertalian rasa cinta kasih antara sesama manusia, khususnya antara saudara, kerabat, tetangga dan masyarakat.
  • Persaudaraan
    Semangat persaudaraan, lebih-lebih antara sesame kaum beriman (Ukhuwah Islamiyah).
  • Persamaan
    Pandangan bahwa sesama manusia tanpa memandang jenis kelamin, kebangsaan ataupun kesukuannya adalah sama dalam harkat dan martabat.
  • Adil
    Wawasan yang seimbang dalam memandang menilai atau menyikapi sesuatu atau seseorang.
  • Baik sangka
    Sikap penuh baik sangka kepada sesama manusia.
  • Rendah hati
    Sikap yang tumbuh karena keinsafan bahwa segala kemuliaan hanya milik Allah, maka tidak sepantasnya manusia mengklaim kemuliaan itu kecuali dengan pikiran yang baik dengan perbuatan yang baik, yang itupun hanya Allah yang menilainya.
  • Tepat janji
    Salah satu sifat orang yang benar-benar beriman adalah sekip selalu menepati janji bila membuat perjanjian.
  • Lapang dada
    Sikap penuh kesediaan menghargai orang lain dengan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya.
  • Dapat dipercaya
    Salah satu konsekuensi iman adalah amanah atau penampilan diri yang dapat dipercaya.
  • Perwira
    Sikap penuh harga diri namun tidak sombomng dan tidak mudah menunjukkan sikap memelas atau iba dengan maksud mengundang belas kasihan orang lain dan mengharapkan pertolongannya.
  • Hemat
    Sikap tidak boros dan tidak pula kikir dalam menggunakan harta, melainkan sedang antara keduanya.
  • Dermawan
    Sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia terutama mereka yang kurang beruntungdan terbelenggu oleh perbudakan dan kesulitan hidup lainnya dengan mendermakan sebagian harta benda yang dikaruniakan Allah kepada mereka.

Nilai-nilai keagamaan di atas kiranya dapat membantu mengindetifikasi agenda pendidikan keagamaan dalam rumah tangga yang lebih konkrit dan operasional. Sekali lagi pengalaman nyata orang tua dan pendidikan akan membawanya kepada kesadaran akan nilai-nilai budi luhur lainnya yang lebih relevan untuk perkembangan anak.


Artikel 3 :

Menag M Maftuh Basyuni: Anggaran Pendidikan Agama Dan Keagamaan Meningkat

Anggaran khusus untuk pendidikan agama dan keagamaan Departemen Agama semakin meningkat. Anggaran pendidikan untuk tahun 2009 sebasar Rp 23 triliyun lebih termasuk belanja pegawai guru dan dosen. Dibandingkan dengan anggaran tahun-tahun sebelumnya, tahun 2008 sebesar Rp 7,9 triliun, tahun 2006 Rp 6,6 triliyun dan tahun 2006 hanya 4,6 triliun. Demikian ungkap Menteri Agama Maftuh Basyuni pada jumpa pers belum lama ini di Jakarta.

Lingkup pendidikan yang menjadi tugas Deparatemen Agama, kata Menag, dari TK sampai ke Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi ada macam-macam, Perguruan Tinggi Islam, Institut Agama Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam, Fakultas Pusat Studi Agama Islam dan Perguruan Tinggi Islam suasta. Departemen Agama soal pendidikan ruang lingkupnya adalah pendidikan agama dan keagamaan. Pendidikan agama dari TK sampai Perguruan Tinggi, kemudian pendidikan keagamaan dari terdiri dari Pondok Pesantren, Diniah Ulaa, Diniah Wusto, Diniah Uliya dan Mahad Ali.
Satuan pendidikan tahun 2008 berjumlah 85.911 lembaga pendidikan dengan total peserta didik mencapai 11.000.531. orang mulai dari pendidikan anak-anak samnpai ke Universitas . Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang sangat besar dibandingkan tahun 2007 yaitu 83.320 lembaga dengan peserta dididk 11.056 .000 orang. Departemen Agama juga meningkatkan kesejahteraan guru antara lain melalui instrumen tunjangan fungsional dan tiunjangan profesi guru. Padata tahun 2008 Depag memberikan tunjangan fungsional 501..831 guru non PNS masing-masing diberi Rp 200 rupiah dan tahun 2009 Rp 250-300 ribu. Sedangkan tunjangan profesi bagi 26.869 guru.
Jumlah guru yang memiliki ijazah minimal S1 pada semua jenjang pendidikan Islam terus mengalami peningkatan. Tahun 2008 guru yang berkuwalikasi minimal S1 mencapai 502.000 orang lebih tinggi dibandidng tahun sebelumnya yang hanya sekitar 246.533 orang. Demikian juga dari 220.886 guru berijasah S1 pada tahun 2006 sejumlah 25.761 orang sekitar 11,6 % mengikuti sertifikat . Pada tahun 2008 sejumlah 33. 851 orang guru mengikuti sertifikat. Pendidikan untuk tahun 2009 total pagu definitf Departemen Agama sebesar Rp.26,6 triliun yang terdiri dari fungsi pendidikan 23,2 triliyun. Ini berarti pendidikan sangat dominan didalam anggarana Depag. Dialokasikan pendidikan Islam sebesar Rp 21,9triliun yang dikelola oleh pusat, dan wilayah Kakanwil Propinsi dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, UIN, IAIN.


Artikel 4 :

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam melalui Pendekatan Kontekstual (CTL)

Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan UU Sisdiknas di atas maka salah salah satu ciri manusia berkualitas adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia. Dengan demikian salah satu ciri kompetensi keluaran pendidikan kita adalah ketangguhan dalam iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia.

Bagi umat Islam, dan khususnya pendidikan Islam, kompetensi iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya, dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam kompetensi imtak dan iptek serta akhlak mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Bagaimana peran khalifah tersebut dapat dilaksanakan, diperlukan tiga hal (1) landasan yang kuat berupa imtak dan akhlak mulia, dan (2) alat untuk melaksanakan perannya sebagai khalifah adalah iptek. Dengan demikian tidak mengenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya.

Berkaitan dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 , Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum pada semua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Dalam kurikulum yang terbaru yaitu Kurikuilum 2004 pada pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.

Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia. Dengan demikian materi pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja.

Maka saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para guru Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.

Salah satu metode pembelajaran yang dianjurkan digunakan dalam Kurikulum 2004 dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL). Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam tulisan ini akan disajikan , mengapa pembelajaran PAI menggunakan pendekatan kontekstual dan bagaimana mengimplementasikan pendekatan kontestual dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Dengan diterapkannya model ini, diharapkan dapat membantu para guru agama dalam mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang benar-benar mempunyai kualitas keberagamaan yang kuat yang dihiasi dengan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.

B. Mengapa Pendekatan Kontekstual menjadi Pilihan dalam PAI

  1. Mata pelajaran PAI merupakan salah satu mata pelajaran pokok dari sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik serta memiliki akhlak mulia dalam kehidupannya sehari-hari. Sejauh ini para guru berpandangan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang harus dihapal, sehingga pelajaran PAI cukup disampaikan dengan ceramah sehingga pembelajaran di kelas selalu berpusat pada guru. Dengan pendekatan kontekstual diharapkan siswa bukan sekedar objek akan tetapi mampu berperan sebagai subjek, dengan dorongan dari guru mereka diharapkan mampu mengkonstruksi pelajaran dalam benak mereka sendiri, jadi siswa tidak hanya sekedar menghapalkan fakta-fakta, akan tetapi mereka dituntut untuk mengalami dan akhirnya menjadi tertarik untuk menerapkannya.
  2. Melalui pendekatan kontekstual diharapkan siswa dibawa ke dalam nuansa pembelajaran yang di dalamnya dapat memberi pengalaman yang berarti melalui proses pembelajaran yang berbasis masalah ,penemuan (inquiri), independent learning, learning community, proses refleksi , pemodelan sehingga dari proses tersebut diharapkan mereka dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya.

  1. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam sesuai dengan tuntutan kurikulum 2004 harus memenuhi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Ketiga aspek tersebut harus dikembangkan secara terpadu dalam setiap bidang kajian agama, seperti akidah, syariah dan akhlak. Melalui pendekatan kontekstual yang dibangun dengan berbagai macam metode, guru Agama Islam dapat memilih bagian mana yang cocok untuk aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.

C. Pendekatan CTL dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Implementasi Kurikulum 2004 dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam sangat tergantung pada penguasaan guru akan materi dan pemahaman mereka dalam memilih metode yang tepat untuk materi tersebut. Salah satu metode yang saat ini dianggap tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah pendekatan CTL Salah satu unsur terpenting dalam penerapan pendekatan CTL adalah pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru – guru PAI mengenai strategi ini. Oleh karena itu diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan oleh para guru Pendidikan Agama Islam di dalam kelas secara sederhana.
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer ilmu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok

. Dalam kurikulum 2004, guru PAI dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, lebih mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.

Beberapa hal yang harus diperhatikan para guru Pendidikan Agama Islam dalam mengimplementasikan pendekatan kontestual :

1. Pembelajaran Berbasis Masalah

Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah mengobservasi suatu fenomena, misalnya :

  • Menyuruh siswa untuk menonton VCD tentang kejadian manusia, rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, tentang Alam Akhirat, azab Ilahi , dan sebagainya.
  • Menyuruh siswa untuk melaksanakan shaum pada hari senin dan kamis, membayar zakat ke BAZ, mengikuti sholat berjamaah di masjid, mengikuti ibadah qurban, menyantuni fakir miskin

Langkah kedua yang dilakukan oleh guru adalah memerintahkan siswa untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul.

Setelah menonton VCD atau mendengarkan kisah-kisah Al Qur`an, siswa diharuskan membuat catatan tentang pengalaman yang mereka alami, melalui diskusi dengan teman-temannya.

Setelah mengamati dan melakukan aktivitas keagamaan siswa diwajibkan untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul serta mereka dapat mengungkapkan perasaannya kemudian mendiskusikan dengan teman sekelasnya.

Langkah ketiga tugas guru Pendidikan Agama Islam adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan permasalahan yang ada.

Langkah keempat guru diharapkan mampu untuk memotivasi siswa agar mereka berani bertanya, membuktikan asumsi dan mendengarkan pendapat yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan Lingkungan Siswa untuk Memperoleh Pengalaman Belajar

Guru memberikan penugasan kepada siswa untuk melakukan kegiatan yang berhubungan dengan konteks lingkungan siswa, antara lain di sekolah, keluarga dan masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan penugasan kepada siswa di luar kelas. Misalnya mengikuti sholat berjamaah, mengikuti sholat jum`at, mengikuti kegiatan ibadah qurban dan berkunjung ke pesantren untuk mewawancarai santri atau ustadz yang berada di pesantren tersebut. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung dari kegiatan yang mereka lakukan mengenai materi yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan Aktivitas Kelompok


Di dalam kelas guru PAI diharapkan dapat melakukan proses pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok belajar. Siswa di bagi kedalam beberapa kelompok yang heterogen. Aktivitas pembelajaran kelompok dapat memperluas perspektif dan dapat membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru dalam mempraktekan metode ini adalah :

Pembentukan kelompok

Mendatangkan ahli ke kelas, misalnya Tokoh Agama, Santri atau Ulama dari pesantren

Bekerja dengan kelas sederajat

Bekerja dengan kelas yang ada di atasnya

4.Membuat Aktivitas Belajar Mandiri

Melalui aktivitas ini peserta didik mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi sendiri dengan sedikit bantuan atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5.Menyusun Refleksi
Dalam melakukan refleksi, misalnya ketika pelajaran berakhir siswa merenungkan kembali pengalaman yang baru mereka peroleh dari pelajaran tentang sholat berjama`ah,


Artikel 5 :

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik.

Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram.