Sabtu, 23 Mei 2009

Pendidikan informal 2

Pendidikan informal 2

1. Pemerintah Harus Lebih Perhatikan Pendidikan Informal

Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.

Bogor-Perhatian pemerintah kepada pendidikan informal dan non-formal dirasa masih kurang. Pebedaan sikap bahkan masih terasa dengan kesan menomorduakannya.”Padahal sesungguhnya ada yang istimewa dalam program informal dan non formal ini, yaitu daya jangkaunya yang mampu menjangkau segala umur, tidak terikat status pernikahan, dan bisa menjangkau wilayah terpencil”, demikian Yusup Haryanto, SPd, koordinator PKBM Tunas Melati, Pemuda Muhammadiyah kabupaten Bogor kepada muhammadiyah.or.id, selasa (1/04/2008).

Menurut Yusup, setelah ada program BOS, sebenarnya masyarakat sudah banyak terbantu, khususnya untuk biaya SPP. Namun menurutnya, di lapangan ternyata biaya transport peserta didik ke sekolah masih banyak yang memberatkan orang tua siswa, terutama siswa dari daerah terpencil. “ Inilah kelemahan konsep Sekolah Terbuka” yang masih mengharuskan siswa berangkat dari rumah ke sekolah tertentu. Belum lagi masalah dengan status perkawinan, dimana sekolah formal tidak memungkinkan seorang siswa sudah menikah ikut bersekolah.

Dengan pertimbangan itulah, menurut Yusup, pogram PKMB Tunas Melati yang pada awalnya merupakan hasil MOU PP Pemuda Muhammadiyah dan Dirjen Pendidikan Informal dan Non Formal saat ini menjadi solusi yang cukup menarik bagi warga belajar di daerah kabupaten Bogor. Program yang difasilitasi dengan Kelas Berjalan, berupa Bis ini bisa menjangkau pelosok dan masyarakat miskin dengan mudah. “ Karena program ini geratis dan kami mendatangi mereka” cerita Yusup.

Saat ini, PKBM Tunas Melati mengelola tujuh kecamatan di Kabupaten Garut, yaitu kecamatan Nanggung, Pamijahan, Jasinga, Leuwiliang, Cibubulang, Sukajaya, Darmaga dan Tamansari. Kesemuanya dikelompokkan pada 28 Kelompok belajar yang masing-masing kelompok berkisar antara 80 hingga 100 warga belajar, dengan dipandu tujuh hingga delapan tutor. Pogram yang baru berjalan setahun ini, saat ini sudah meluluekan 700 warga belajar dari paket A, B, dan C selain program pemberantasan buta aksara melalui Keaksaraan Fungsional, program Pendidikan Anak Usia Dini, Kursus Masuk Desa dan Beasiswa Belajar.


2. Dana Pendidikan Dipotong Rp 41,8 Miliar

Dana pendidikan nonformal dan informal Jawa Timur dipotong sekitar Rp 41,8 miliar. Akibatnya, beberapa program peningkatan kualitas pendidikan seperti penghapusan buta aksara, dana hibah pendidikan luar sekolah, program penyetaraan wajib belajar sembilan tahun, dan pengembangan budaya baca dipastikan berkurang.Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Rasiyo mengatakan, pemotongan dana itu dipastikan akan mengurangi sasaran sejumlah program peningkatan pendidikan. "Program penghapusan buta aksara di pedesaan terpaksa akan dikurangi pesertanya," katanya di Surabaya, Senin (28/4).Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal Nomor 181 Tahun 2008, dana penghapusan buta aksara untuk Provinsi Jatim dipotong sebesar Rp 23 miliar dari Rp 63 miliar. Sasaran pun berkurang sekitar 5.000 orang. Padahal, jumlah penduduk buta aksara di Jatim masih menempati posisi tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 3,7 juta jiwa dengan usia 10 tahun ke atas.Sementara pemotongan dana penyetaraan wajib belajar sembilan tahun menyebabkan program kejar Paket A atau program penyetaraan pendidikan setingkat SD ditiadakan. Adapun dana untuk program kejar Paket B dipotong sebesar Rp 4,1 miliar. Demikian juga dana kejar Paket C yang dipotong hampir setengahnya. Menurut data Badan Pusat Stastistik tahun 2006, terdapat 3,6 juta penduduk Jatim yang belum pernah mengecap bangku sekolah.Program pengembangan budaya baca pun terkena dampak penundaan anggaran oleh Departemen Keuangan. Program ini mengalami pemangkasan hingga Rp 2,8 miliar dari dana yang tersedia sebelumnya, yaitu Rp 3,7 miliar. Akibatnya, sebanyak 125 taman baca masyarakat yang ditargetkan dibangun per tahun berkurang menjadi 63 buah saja.Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kota Surabaya Edi Santosa mengatakan, pemotongan sebesar Rp 6 miliar dari pengembangan kursus dan magang mengakibatkan dana hibah untuk lembaga pelatihan dan kursus dibekukan.Pembekuan bantuanSelama sebulan terakhir, bidang PLS telah menolak sebanyak empat pengajuan bantuan kursus yang meliputi kursus menjahit, pengobatan alternatif, kecantikan, dan komputer. "Pembekuan ini terpaksa kami lakukan, padahal program ini sangat berguna untuk penduduk putus sekolah," kata Edi.Pemilik dan pengelola LPK Menjahit dan Bordir Sarasvati, Endang Srividodo, mengatakan bahwa penghapusan bantuan itu akan menghentikan kursus gratis yang selama ini ia selenggarakan untuk anak-anak putus sekolah dan belum bekerja di Kecamatan Sambikerep.


3. Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.


4. Komunitas Homeschooling Tolak Diskriminasi

Komunitas homeschooling yang tergabung dalam Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif menolak diskriminasi dalam penyelenggaraan ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK. Komunitas ini meminta supaya draft Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang UNPK benar-benar mengakomodasi kepentingan anak-anak yang memilih jalur pendidikan nonformal dan informal.Ketidaksetujuan komunitas homeschooling Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang diketuai Seto Mulyadi ini disampaikan di Jakarta, Selasa (15/1). Para orang tua dan anak yang tergabung dalam komunitas homeschooling ini menyampaikan protes mengenai ketentuan UNPK yang dinilai tidak adil kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).Dhanang Sasongko, Sekretaris Umum Asah Pena, mengatakan mereka menolak diskriminasi terhadap peserta pendidikan kesetaraan. Waktu pelaksanaan UNPK dinilai lebih untuk mengakomodasi anak-anak dari sekolah formal yang tidak lulus UN agar dapat mengulang di UNPK akan menempatkan pendidikan kesetaraan sebagai pembuangan dari sistem pendidikan formal.Ketentuan umur ijazah peserta UNPK di bawahnya minimal tiga tahun sangat merugikan perkembangan anak-anak peserta pendidikan kesetaraan, khusunya bagi mereka yang memiliki kompetensi untuk mengikuti program akselerasi. Pelaksanaan UNPK di bulan Juli juga menyebabkan peserta pendidikan kesetaraan tidak bisa mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di tahun tersebut.Asah Pena yang beridiri tahun 2006 untuk mewadahi para penyelanggara pendidikan kesetaraan di Indonesia ini memiliki anggota 36 komunitas seloah rumah. Peserta didik berjumlah 2.000 orang yang antara lain tersebar di Kalimantan Timur, Jawa Timur, DKI Jakarta, Medan, Denpasar, dan Ternate.Djemari Mardapi, Ketua BSNP, mengatakan, ketentuan mengenai UNPK itu dibuat untuk mengakomodasi kepentingan semua pihak. Apalagi pembahasan soal ketentuan UNPK itu sudah disepakati berbagai pihak seperti Depdiknas, Departemen Agama, dan pondok pesantren.”Draft-nya tinggal menunggu ditandatangani Mendiknas saja. Kalau untuk soal waktu cukup sulit untuk diubah. Tapi BSNP akan mencoba untuk bisa menyalurkan aspirasi komunitas homeschooling ini karena kami pun baru tahu jika ternyata ada ketentuan yang belum dapat diterima dan dinilai tidak adil,” kata Djemari.


5. Menakertrans: Pendidikan Informal Tak Tersentuh, Anggaran 20 Persen Timpang

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.
"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).
Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.
Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya.