Kuliah Lagi, Tak Melulu Demi Sertifikasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Raut wajah puluhan perempuan dan lelaki berusia 40 hingga 50-an tahun, yang duduk di bangku kayu berukuran dua orang, tampak serius mendengarkan paparan soal hukum pewarisan Mendel. Suasana hening sesekali pecah saat pengajar memancing peserta dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkait materi yang baru dipaparkan.
Meskipun usia tak terbilang muda lagi, puluhan guru yang kuliah atas inisiatif sendiri atau dikuliahkan pemerintah di Kabupaten Biak Nomfur, Papua, itu tetap bersemangat meraih gelar sarjana pendidikan. Selama empat semester atau dua tahun, guru-guru SD yang sudah kenyang dengan asam-manis jadi pendidik di Tanah Papua itu melakoni belajar secara mandiri, lalu beberapa kali tutorial atau kuliah tatap muka di Universitas Terbuka (UT) yang dipusatkan di SDN 1 Biak.
Keterbatasan sarana belajar karena umumnya hanya mengandalkan modul, tidak menghalangi mereka untuk terus belajar. Para tutor yang guru SMA bergelar sarjana pendidikan tetap bisa diandalkan untuk membantu proses itu.
Laban Rumbrapuh (52), Kepala SD YPK Bosnabraidi di Distrik Yawosi, setidaknya tiga kali seminggu menempuh jarak sekitar 60 kilometer untuk menghadiri kelas tutorial atau ujian. Perjalanan dua jam atau lebih itu tidak mudah karena taksi (angkutan umum) tidak selalu tersedia.
Namun, Laban, yang 27 tahun jadi guru, berusaha tidak absen dari jadwal bertatap muka dengan tutor (istilah dosen di UT). ”Pertemuan dengan tutor kan cuma 12 kali per semester. Selebihnya, belajar sendiri dari buku atau kaset atau VCD. Kadang-kadang materi yang sedang dipelajari semakin jelas jika dibahas secara langsung dengan tutor,” ujar Laban yang kuliah dengan beasiswa dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Biak.
Menurut Laban, mengingat usianya yang tak lagi muda, cukup sulit untuk bisa kembali ke bangku kuliah. Namun, kesempatan untuk kuliah lagi membuatnya bergairah untuk bisa belajar. ”Katanya untuk bisa ikut sertifikasi. Tetapi, buat saya ini kesempatan untuk meningkatkan diri,” kata Laban.
Elieser Wabiser (45), guru SD YPK Dwar, di Distrik Warsa, mengatakan, keinginan guru di daerah untuk pengembangan diri sangat kuat. Namun, tanpa difasilitasi pemerintah daerah, guru kesulitan untuk bisa terus mengembangkan diri.
”Untuk bisa sekolah S-1 lagi, misalnya, tidak mudah. Selain keuangan yang berat jika membiayai sendiri, di daerah terpencil tidak ada perguruan tinggi kependidikan. Kalau tidak dibukakan jalan oleh pemerintah, ya guru kesulitan. Untuk pelatihan lainnya juga biasanya kalau ada program dari pusat saja. Seringnya guru di kota yang dipilih,” kata Elieser.
Untuk bisa menjalani kuliah di UT yang fleksibel, tetapi guru tidak boleh sampai mengabaikan tugasnya, bukan hal mudah. Elieser terpaksa tidak penuh mengajar demi bisa mendapatkan taksi yang membawanya ke ibu kota. ”Pukul 11 saya sudah selesaikan mengajar supaya bisa ikut tutorial jam dua siang. Nanti, jam mengajar yang kurang diganti hari lain. Siswa belajar sampai sore,” kata Elieser yang 8 tahun jadi guru PNS.
Ada juga guru-guru yang mesti menyeberangi pulau, seperti di Padaido dan Numfor, agar bisa kuliah ke kota. Mereka kadang terhadang cuaca buruk.
”Guru-guru pasti ingin bisa meningkatkan kualitas dirinya supaya bisa menghasilkan anak-anak didik yang lebih baik. Tetapi, kesempatan mendapat pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan guru terbatas. Apalagi, di daerah yang jauh dari kota tidak mendapat banyak kesempatan,” kata Aqwila Musen, guru SD YPK Samber, Distrik Yendidori.
Elieser yang membiayai sendiri kuliahnya itu mempertanyakan, ”Setelah guru ramai-ramai dikuliahkan S-1, terus apa? Yang penting itu kan guru terus dibina secara berkelanjutan agar pengetahuannya tidak ketinggalan, terutama guru di daerah pedalaman atau terpencil.”
Tantangan Berat
Yusuf Slamet, Kepala Seksi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Biak Nomfur, mengatakan tantangan meningkatkan kualifikasi akademik guru di daerah ini cukup berat. Baru sekitar 50 guru dari 3.000 guru SD bergelar sarjana pendidikan. ”Perkuliahan di UT cukup membantu karena penyelenggaraannya bisa disesuaikan keadaan di sini. Kami minta tutorial 12 kali dari pengajuan UT yang cuma delapan kali,” kata Yusuf.
Kondisi guru-guru di daerah yang minim dalam pengembangan diri tersebut sejalan dengan temuan Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Independen 2008 yang dibentuk Konsorsium Sertifikasi Guru.
”Guru tidak bisa lagi diabaikan. Berbicara sol guru, tidak semata-mata soal peningkatan kesejahteraan. Peningkatan mutu mereka dalam pembelajaran juga sama pentingnya. Kondisi itu bisa dicapai dengan pelatihan yang berkesinambungan dan tanpa henti untuk semua guru, jadi jangan hanya untuk kepentingan sertifikasi. Para guru itu sebenarnya haus menimba ilmu yang terus berkembang,” kata Unifah Rosyidi, Ketua Tim Monev Independen 2008, sekaligus Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia.
Belajar Mandiri
Di tengah gencarnya pemerintah mewujudkan guru TK - SMA sederajat yang minimal berkualifikasi akademik D-IV/S-1, peran UT yang sejak 1984 bersifat terbuka dan jarak jauh menjadi cukup penting. Perguruan tinggi ini memiliki unit program belajar jarak jauh (UPBJJ) di tiap provinsi dan menyelenggarakan perkuliahan hingga ke kecamatan.
Jumlah mahasiswa aktif di UT per Agustus 2008, 522.960 orang, --sekitar 12 persen jumlah mahasiswa seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Sebanyak 90 persen mahasiswa UT adalah guru, terutama guru SD.
M Atwi Suparman, Rektor Universitas Terbuka, mengatakan, belajar di UT harus siap belajar mandiri. Mereka dibekali bahan ajar seperti modul, audio visual, dan VCD yang didesain untuk bisa dipelajari sendiri, tidak bergantung kepada dosen atau tutor.
”Penggunaan internet untuk pembelajaran, registrasi, dan tutorial online sudah bisa diakses. Kendalanya, tidak semua daerah terjangkau internet dan tidak semua mahasiswa mampu menggunakan komputer,” katanya.
Tian Belawati, Pembantu Rektor I Bidang Akademik UT, menjelaskan, pemanfaatan internet sebagai sumber belajar masih rendah, terutama di kalangan mahasiswa yang bekerja sebagai guru. Baru sekitar 6.000 mahasiswa UT memanfaatkan tutorial online.